Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Big Data untuk Pemilu

Kompas.com - 15/04/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DRAMA usulan perpanjangan periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dan penundaan Pilpres 2024 telah usai.

Tidak perlu mengungkit apa yang telah terjadi. Drama kolosal itu biarlah menjadi bagian dari sejarah perkembangan demokrasi negara ini.

Untuk mewujudkan negara sesuai kehendak segenap warga bangsa yang heterogen ini, kita tentu harus melalui proses pembelajaran, yang memerlukan pengorbanan.

Kita telah melampaui masa kritis ini dengan selamat. Kini kita perlu fokus pada penyelenggaraan Pemilu 2024, agar berlangsung dengan sukses dan lebih baik dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Partai-partai peserta Pemilu 2024 saat ini tentu sedang menghimpun data calon pemilih selengkap mungkin.

Tujuannya untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya bagi calon-calon anggota lembaga legislatif dan eksekutif, dari tingkat lokal hingga nasional.

Manfaat penguasaan Big Data untuk pemilu dibuktikan oleh Barack Obama pada saat kampanye Pilpres di AS tahun 2012.

Ia mengubah pola kampanye konvensional yang mengandalkan iklan di media massa dengan mengirimkan pesan langsung melalui media sosial kepada calon pemilih yang ditargetkan.

Saya membayangkan Tim kampanye Obama mengolah data digital untuk mengetahui persoalan apa yang menjadi perhatian setiap calon pemilih.

Kemudian materi kampanye didesain untuk memberi solusi pada persoalan yang dihadapi setiap calon pemilih.

Untuk itu digunakan data diri setiap calon pemilih yang jumlahnya ratusan juta orang.

Big Data telah tersedia saat itu sehingga tidak sulit bagi Tim Kampanye Obama untuk mendapatkan dan memanfaatkannya.

Intinya, setiap orang mendapat pesan pribadi dari Obama bahwa sebagai presiden ia akan mengatasi masalah yang dihadapinya dengan program-program yang telah disiapkan untuk itu, bukan program umum untuk semua kelompok masyarakat.

Saat ini pemanfaatan Big Data telah ada di sekitar kita. Tentu pembaca pernah disuguhi iklan suatu barang yang sedang kita cari pada saat membaca berita dari koran online.

Atau menerima pesan singkat (SMS) yang berisi ucapan ulang tahun dari suatu perusahaan, atau pemberitahuan untuk mengganti oli mobil, memperpanjang surat kendaraan, membayar pajak, waktu untuk memeriksakan kesehatan, dan juga tentang vaksin dan protokol kesehatan.

Mungkin juga akan ada pesan untuk meminum obat yang dibeli dari apotek, membeli pupuk tanaman tertentu, atau gunting rambut dengan model terbaru, dan sebagainya. Itu semua dapat terjadi berkat adanya Big Data.

Big Data berkembang terus di banyak negara seiring dengan meluasnya infrastruktur teknologi informasi.

Data dikumpulkan melalui berbagai cara, seperti mengisi formulir saat pendaftaran, melalui sensus dan survei, melalui pengiriman teks, gambar, suara atau video melalui media sosial tanpa disadari.

Seberapa besar Big Data itu? Ada 500 juta cuitan melalui Twitter yang dikirim orang setiap hari di AS pada tahun 2013 saja.

Belum lagi informasi yang dikirim melalui media sosial lain (Facebook, Youtube, Instagram, Whatsapp, dsb.), juga website, blog, dll.

Tidak semua data dapat dibuka secara legal karena menyangkut rahasia pribadi, rahasia bisnis, keamanan nasional, dsb.

Singkatnya ada kumpulan data dengan volume yang sangat besar di awan-awan sana, yang dihimpun oleh banyak pihak, seperti pemerintah, bisnis, lembaga riset, dan mungkin perorangan.

Data itu mudah diambil, diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti: bisnis, sosial, politik, pelayanan masyarakat, keamanan, dan sebagainya, termasuk untuk kampanye politik.

Namun Big Data bukan segalanya. Penggunaan Big Data bisa salah. Barangkali pembaca ingat cerita ini.

Seorang pemabuk sedang sibuk mencari kunci yang hilang di suatu tempat yang terang karena terkena sinar lampu jalan.

Seorang polisi menghampiri pemabuk itu dan bertanya: “Kamu sedang apa?”

Pemabuk itu menjawab: “Kunci saya hilang, tetapi saya tidak menemukannya di sini.”

Polisi bertanya lagi: “Kamu ingat di mana kuncimu terjatuh?”

Pemabuk menjawab: “Iya tahu, di sebelah sana.”

Polisi: “Mengapa kamu tidak mencari di sana?”

Pemabuk: ”Karena di sana gelap.”

Di luar sana ada saja orang-orang yang bersikap seperti pemabuk itu. Mereka mencoba menemukan sesuatu di tempat yang mudah melakukan, namun tentu saja tidak akan menemukan karena memang tidak ada di sana.

Suatu Big Data bisa menjadi tempat yang menjanjikan untuk mengetahui pola perilaku tertentu suatu kelompok masyarakat.

Namun karena Big Data yang diambil salah, maka seorang peneliti tidak menemukan pola perilaku tertentu yang sesungguhnya.

Paling jauh ia hanya menyimpulkan atribut pola perilaku tertentu yang mendekati pola perilaku yang sebenarnya, ditambah saran untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Dengan sampel data yang besar, Big Data dalam kasus itu tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.

Hal itu karena data yang diolah bukanlah data tentang subyek yang diteliti, melainkan data tentang subyek yang datanya tersedia dalam jumlah besar.

Sebagai misal, subyek yang diteliti adalah masyarakat yang paling miskin, dan Big Data yang tersedia adalah statistik penduduk menurut kelompok pengeluaran.

Contoh nyata terkait ketidaksempurnaan Big Data adalah pemilihan presiden AS tahun 1936, ketika Gubernur Kansas Alfred Landon menantang petahana Presiden Franklin Delano Roosevelt.

Untuk memrediksi siapa yang akan menang, majalah The Literary Digest membuat jajak pendapat secara masif melalui pos dengan target 10 juta responden. Jumlah ini sekitar seperempat jumlah pemilih.

Setelah memroses sekitar 2,4 juta jawaban yang masuk, The Literary Digest menyimpulkan bahwa Alfred Landon lah yang akan menang.

Namun ada peneliti lain yang memberikan prediksi sebaliknya. Peneliti ini membuat survei opini dengan jumlah sampel lebih sedikit, yang respondennya dipilih dengan cermat untuk mewakili kelompok Republik, Demokrat dan independen.

Sejarah mencatat pemenangnya adalah Franklin Delano Roosevelt, dan peneliti itu adalah George Gallup, pendiri perusahaan riset kelas dunia Gallup yang terkenal dengan Gallup Pollnya.

Kesimpulan cerita di atas adalah bahwa Big Data saja ternyata tidak cukup, harus dilengkapi dengan Small Data yang memenuhi kaidah perhitungan statistik, agar hasil survei mendekati keakuratan 100 persen.

Bagaimanapun Big Data perlu terus dikembangkan, disempurnakan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Dalam kaitannya dengan Pemilu, kandidat anggota DPR/DPRD dan kepala daerah/presiden dapat menyampaikan pesan yang sesuai dengan aspirasi setiap kelompok pemilih, sehingga tidak berkampanye yang tidak jelas ‘juntrungan’nya, atau asal pidato secara gegap gempita.

Bagi pemilih, pesan-pesan kampanye yang diterima dari para kandidat akan dapat memudahkannya untuk menentukan pilihan.

Pesan-pesan kampanye itu juga akan dapat dijadikan bukti tertulis tentang janji yang diutarakan kandidat, yang dapat ditagih setelah sang kandidat menang.

Kandidat yang memanfaatkan Big Data secara benar akan mendapati kemungkinan terpilihnya lebih besar daripada kandidat lain yang hanya melakukan kampanye secara konvensional, seperti memasang spanduk di pinggir jalan, yang kurang banyak membawa pesan, dan cenderung pamer gelar, kegagahan, atau keanggunan.

Sudah saatnya kita memanfaatkan Big Data untuk kampanye Pemilu yang informatif dan menyelesaikan masalah bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

Nasional
'Groundbreaking' IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

"Groundbreaking" IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

Nasional
Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Nasional
Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Nasional
PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com