Mungkin juga akan ada pesan untuk meminum obat yang dibeli dari apotek, membeli pupuk tanaman tertentu, atau gunting rambut dengan model terbaru, dan sebagainya. Itu semua dapat terjadi berkat adanya Big Data.
Big Data berkembang terus di banyak negara seiring dengan meluasnya infrastruktur teknologi informasi.
Data dikumpulkan melalui berbagai cara, seperti mengisi formulir saat pendaftaran, melalui sensus dan survei, melalui pengiriman teks, gambar, suara atau video melalui media sosial tanpa disadari.
Seberapa besar Big Data itu? Ada 500 juta cuitan melalui Twitter yang dikirim orang setiap hari di AS pada tahun 2013 saja.
Belum lagi informasi yang dikirim melalui media sosial lain (Facebook, Youtube, Instagram, Whatsapp, dsb.), juga website, blog, dll.
Tidak semua data dapat dibuka secara legal karena menyangkut rahasia pribadi, rahasia bisnis, keamanan nasional, dsb.
Singkatnya ada kumpulan data dengan volume yang sangat besar di awan-awan sana, yang dihimpun oleh banyak pihak, seperti pemerintah, bisnis, lembaga riset, dan mungkin perorangan.
Data itu mudah diambil, diolah dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti: bisnis, sosial, politik, pelayanan masyarakat, keamanan, dan sebagainya, termasuk untuk kampanye politik.
Namun Big Data bukan segalanya. Penggunaan Big Data bisa salah. Barangkali pembaca ingat cerita ini.
Seorang pemabuk sedang sibuk mencari kunci yang hilang di suatu tempat yang terang karena terkena sinar lampu jalan.
Seorang polisi menghampiri pemabuk itu dan bertanya: “Kamu sedang apa?”
Pemabuk itu menjawab: “Kunci saya hilang, tetapi saya tidak menemukannya di sini.”
Polisi bertanya lagi: “Kamu ingat di mana kuncimu terjatuh?”
Pemabuk menjawab: “Iya tahu, di sebelah sana.”
Polisi: “Mengapa kamu tidak mencari di sana?”