Otoritas agama mengadili Yesus Kristus karena ajaran dan karya-Nya. Padahal, Ia tidak mendirikan agama baru.
Yang dilakukan-Nya adalah meluruskan praktik beragama yang keliru. Ia membawa pesan agar manusia mengasihi Allah dan sesamanya seperti diri sendiri (Matius 22:39).
Ia juga mengasihi orang marjinal dan papa. Para pemuka agama merasa terancam. Mereka kuatir kehilangan dukungan. Mereka juga tidak siap melepas topeng kemunafikan.
Maka, mereka bersepakat menangkap dan membunuh-Nya. Karena tidak punya wewenang untuk menjatuhi hukuman mati, penguasa agama minta restu Pontius Pilatus, penguasa sipil Romawi (Yohanes 18:31).
Pilatus menginterogasi Yesus. Tetapi ia tidak menemukan kesalahan pada diri-Nya. Pilatus pun bermaksud membebaskan Yesus.
Tetapi karena provokasi dan desakan massa, Pilatus menyerahkan-Nya kepada para pembela “agama”. Ia pun disiksa, menderita dan wafat secara hina.
Pandemi Covid-19 menyingkapkan, kematian dan kehidupan, penderitaan dan kebahagiaan adalah bagian inheren dari kehidupan. Betapa pun manusia selalu menghindar, kehidupannya tidak pernah lepas dari keduanya.
Pandemi ini membuat banyak orang menderita karena jatuh miskin atau semakin miskin, sakit, tertekan dan meninggal dunia. Dalam situasi demikian, sengsara dan wafat Yesus Kristus menjadi relevan.
Gustavo Guitterez, Teolog pembebasan Amerika Latin menegaskan, mustahil mengerti Tuhan jika kita tidak memandangnya dari perspektif penderitaan.
Salib Kristus adalah wujud penderitaan yang nyata. Tetapi, dalam salib-Nya, penderitaan jadi bermakna.
Jika Kristus yang tidak bersalah rela menderita, maka mereka yang memandang penderitaan dari kaca mata salib, tidak lagi melihat penderitaan -memakai terminologi Heidegger- sebagai keterlemparan (facticity) yang absurd.
Sebaliknya, mereka mendapatkan makna dari penderitaan-Nya. Yesus Kristus menderita karena mengasihi umat manusia.
Dalam derita dan wafat-Nya, Ia juga mengalami kuasa Allah yang membangkitkan-Nya. Mereka yang memandang penderitaan dari salib Kristus, mengalami kuasa Allah yang hadir ketika menderita.
Sebab, Allah yang berinkarnasi di dalam Yesus Kristus ikut menderita bersama mereka. Ketika menderita bersama-Nya, umat Kristiani mengalami transformasi.
Mereka mampu memaknai penderitaan dan menjadikannya kesempatan untuk mengasihi.