Isi kekosongan hukum
Permendikbud ini juga dianggap berhasil mengisi kekosongan hukum di Indonesia.
Hingga saat ini, Indonesia memang belum memiliki produk hukum yang cukup progresif dan berperan korban, dalam hal mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Terlebih, KUHP saat ini masih dalam proses revisi, sedangkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS, sebelumnya RUU PKS) belum diundangkan hingga saat ini.
"Permendikbud ini sudah sangat banyak membawa kemajuan di kampus-kampus dengan membuat peraturan-peraturan turunan. Beberapa kampus sudah menerapkan peraturan lanjutannya," ujar Ketua YLBHI Muhammad Isnur.
Baca juga: RUU TPKS Akomodasi Ketentuan Victim Trust Fund untuk Korban Kekerasan Seksual
"Permendikbud ini sudah berdaya guna bagi korban-korban yang selama ini mendapatkan kekerasan seksual," tambahnya.
Ia memberi contoh sejumlah kasus kekerasan seksual di beberapa daerah yang didampingi oleh YLBHI.
Menurutnya, para advokat LBH merasa bahwa penanganan kasusnya tak lagi selambat dulu, di mana kampus belum memiliki mekanisme untuk itu.
Baca juga: Cara Melaporkan Kekerasan Seksual
Pasalnya, para korban kekerasan seksual kerap berada dalam posisi rentan, bahkan dapat menjadi korban dua kali karena sistem hukum yang tidak berpihak.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, mengaku pihaknya menerima 201 aduan penyebaran konten intim tanpa persetujuan, termasuk dengan korban para mahasiswa/mahasiswi 18-25 tahun, pada 2021 lalu.
Tanpa pembedaan yang jelas antara pelaku dengan korban, korban justru berpeluang dikorbankan dua kali karena sistem hukum yang tidak memihak.
"Ancaman kriminalisasi ini tidak jarang menyangkut korban dilaporkan dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yaitu tentang penyebaran konten asusila, terutama pelakunya adalah orang yang menggunakan UU ITE sebagai cara membungkam korban," jelas Damar dalam kesempatan yang sama.