Pelanggengan kekuasaan yang dipaksakan hanyalah menjadi legacy yang buruk bagi anak cucu kelak.
Tidak ada yang salah dengan aksi demo yang dilakukan BEM-SI pada 11 April 2022. Justru ada yang “korslet” jika mahasiswa “membiarkan” pemerintahan berjalan seenak “udhelnya”.
Sebagai intelektual muda yang kritis, mahasiswa kudu menyerap aspirasi rakyat dan memperjuangkan dengan cara-cara intelektual.
Jika penyampaian aspirasi yang disertai kajian-kajian ilmiah dan disampikan ke berbagai forum tidak berbuah hasil, maka aksi demo jalanan menjadi “pengingat” supaya rezim berjalan sesuai jalur konstitusi.
Enam tuntutan yang disuarakan mahasiswa dalam demo 11 April 2022 - satu di antaranya sudah tidak relevan lagi karena isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode telah gugur - begitu relevan dan selaras dengan harapan dan kondisi yang dialami rakyat.
Permintaan agar pemerintahan Jokowi bisa menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan bahan pokok di pasaran adalah harapan dari rakyat yang sangat wajar.
Ironis memang di negeri yang kaya dengan tanaman sawit, hajat hidup orang akan minyak goreng telah dikebiri oleh permainan mafia.
Dan “ambyarnya” lagi, menteri yang membidangi perdagangan, menteri yang membidangi industri serta kepala kepolisian begitu “kalah” dengan aksi mafia minyak goreng.
Belum lagi jika kita bicara mengenai kelangkaan bahan bakar minyak jenis solar dan pertalite yang begitu “malu-malu” tersedia di pasaran.
Sudah harga BBM naik, susah pula di dapatnya. Apalagi lagi dengan rencana kenaikan gas elpiji ukuran 3 kilogram, tentu akan semakin membuat beratnya kehidupan rakyat kecil.
Jokowi harus tegas mengganti menteri dan pembantunya yang tidak “becus” bekerja. Jokowi harus segera merombak kabinetnya jika ingin mengatasi karut marut minyak goreng, BBM dan melangitnya harga-harga bahan pokok lainnya.
Negara tidak boleh “takluk” oleh permainan mafia komoditi yang membuat rakyat antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak goreng atau solar.
Tuntutan mahasiswa agar Jokowi menunda dan mengkaji ulang Undang-Undang Ibukota Negara (IKN) termasuk pasal-pasal bermasalah dan dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial, ekologi, politik, ekonomi dan kebencanaan adalah hal yang wajar.
Daripada dipaksakan dan belum terlanjur menyerap pembiayaan yang besar dan fantastis, ada baiknya semua aspek-aspek yang terkait IKN kembali dibahas lagi dengan seksama.
Tentu Jokowi atau siapapun tidak ingin, IKN hanyalah mengulang Wisma Hambalang dalam skala yang jauh lebih besar akan terulang kembali.