Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ishaq Zubaedi Raqib
Mantan Wartawan

Ketua LTN--Infokom dan Publikasi PBNU

Pekerjaan Rumah Semua Agama

Kompas.com - 10/04/2022, 16:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM sebuah webinar yang digelar secara hybrid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf mengkonstatasi bahwa; "phobia" tumbuh di semua agama.

Darinya, antara lain, lahir istilah kafir. Situasi ini harus dicarikan jalan keluar agar tidak terus menerus menjadi mindset bagi para pemeluk agama.

Nahdlatul Ulama (NU) melihat bahwa idiom kafir dan nonmuslim, tidak lagi relevan di negara modern.

Usia mindset kafir, yang kemudian melahirkan gerakan takfiri, sudah mengendap ratusan tahun lamanya di alam bawah sadar umat beragama.

Pola pikir ini bukan monopoli Kristen vis a vis Islam atau Hindu vs Islam. Ia mendiami ruang terjauh di jantung agama-agama besar dan menjadi identitas.

Ironisnya, ia bisa "dipanggil" kapan saja ke permukaan, untuk kepentingan terkait kebutuhan paling purba; membela kesucian agama.

Sirah panjang agama-agama dalam sejarah modern, sulit dipisahkan dari dinamika politik masyarakat.

Pranata dan infrastruktur sosial yang dibentuk untuk tata kelola masyarakat, juga sering ditunggangi oleh kepentingan politik.

Di mana pun, para penguasa mereduksi sentimen keagamaan demi melindungi reputasi dan kekuasaan.

Kredo ini diadopsi dan diadaptasi oleh para penguasa dari semua agama, baik Islam, Kristen maupun Hindu.

Berbasis sejarah

Apa yang disampaikan Gus Yahya--sapaan KH Yahya Cholil Staquf, merupakan perspektif keagamaan yang sudah sangat dia kuasai.

Sebuah paradigma yang dia bangun lewat postulat atas dasar ortodoksi agama dan legitimasi pesan tarikh Islam.

Pemikirannya tentang membangun peradaban manusia, berangkat dari kesadaran yang mendalam soal jatuh bangun sistem pemerintahan Islam. Sebuah relasi magis antara agama dan kuasa.

Untuk batas-batas tertentu, agama dijadikan identitas sebuah rejim ketika merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Para penguasa di dunia Islam, sejak berakhir era Khalifah Rasyidah, membangun dinasti politik, persis yang dilakukan raja-raja di banyak negara.

Mereka berinteraksi dengan bangsa lain di dunia. Mereka menggunakan skema kekuasaan yang sudah berlangsung ratusan tahun di dua imperium besar; Romawi dan Persia.

Perang dan aksi perluasan daerah kekuasaan, sering berangkat dari pesan profetik masing-masing penganut untuk menyebarkan ajaran agama.

Pada setiap aksi penaklukkan dan ekspansi, berdiri bangunan tugu-tugu martir bernuansa agama, yang ditegakkan di atas dogma dan doktrin kepahlawanan.

Heroisme atas nama agama bak putik yang mekar setiap habis musim gugur. Secara alamiah, musim gugur berganti musim semi.

Siapa berkuasa mengganti musim? Bahkan, musim pun menjelma asas dalam meletakkan mazhab fiqih.

Shalat dalam rukun Islam, waktu-waktunya ditentukan lewat perjalanan matahari. Padahal ini masuk ranah "ijtihadiyah."

Bisa diadaptasi dengan ijtihad terbaru jika menemukan "illat" yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bahwa, kafir dan takfir pernah berlaku di eranya; masa Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah, tapi tak relevan lagi dalam konteks negara modern.

Lewat kitab "Bughyatul Mustarsyidin", Sayyid Abdurrahman Ba'alawi, sudah menerbitkan fatwa visioner, dengan menyebut Nusantara tidak termasuk dalam Darul Kufr.

Fatwa ini menjadi kanal besar bagi kaum muslimin dunia, datang berbondong-bondong, dan tinggal di Tanah Jawi--Nusantara, Malaya, Thailand, Philipina.

Menurut ulama Syafi'ie asal Hadramaut ini, Nusantara bisa jadi tujuan "hijrah" meski dikuasai penjajah yang "kafir".

Harus didorong

Hal menarik dari konteks konstatasi Gus Yahya, karena dia menyitirnya dalam seminar yang digelar Majelis Ulama Indonesia.

Institusi yang dalam sejumlah afirmasinya terkait diksi-diksi seputar ini, masih terus diharap lebih bertenaga, khususnya dalam membumikan nilai wasathiyah.

Webinar mengusung tema; "Turn Back Islamophobia". Digelar oleh Komisi HLNKI MUI yang disiarkan di YouTube MUI, Kamis (31/3/2022).

Gus Yahya mendorong ada cara untuk mengubah pola pikir umat Islam terkait kategori itu.

"Islamofobia ini bukan gejala baru. Ini sesuatu yang sudah lama mengendap, bahkan sebagai mentalitas di kalangan masyarakat nonmuslim di berbagai belahan dunia. Bahkan sudah pula dimapankan, kurang lebih, dalam wacana keagamaan mereka di lingkungan-lingkungan nonmuslim itu," kata Gus Yahya menegaskan.

Dalam keyakinan Gus Yahya, idiom Islamofobia tersebut, bersifat lokal di lingkungan nonmuslim.

Ia kemudian menyinggung diktum kafirofobia di lingkungan umat Islam.

"Di sisi lain sebetulnya kita harus akui juga dari kalangan Muslim ada juga kafirofobia. Dan kafirofobia ini mengendap juga sebagai mentalitas di kalangan umat Islam. Bahkan juga masuk di dalam wacana dan ortodoksi keagamaan di lingkungan Islam," kilah Gus Yahya.

"Kalau saya sebut kafirofobia, ini bisa kepada siapa saja yang nonmuslim. Apakah Judiofobia, Kristofobia, atau Hindufobia dan sebagainya. Secara umum, itu juga masuk dalam wacana keagamaan Islam itu sendiri," ujarnya.

Gus Yahya memaparkan istilah Islamofobia hingga Kafirofobia itu muncul karena warisan dari sejarah yang panjang.

Dia lalu menyinggung perang yang panjang antara dunia Islam dan dunia nonmuslim.

"Kenapa kita punya yang seperti ini? Baik di lingkungan nonmuslim ada Islamofobia, di lingkungan umat Islam ada Kafirofobia. Karena kita mewarisi sejarah dari konflik yang panjang sekali. Selama berabad-abad antara Islam melawan dunia nonmuslim," sebut Gus Yahya.

Misalnya, selama era Turki Utsmani, 700 tahun dari kekuasaan imperium tersebut, kompetisi militer melawan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa di Barat tiada berjeda.

Begitu juga di kawasan timur, Dinasti Mughal sepanjang waktu terlibat konflik yang sangat tajam dengan umat Hindu di India, khususnya India bagian utara.

Sejarah persaingan agama masih mengendap hingga saat ini dan telah menjelma pola pikir masyarakat.

Semua sejarah yang diwarisi umat Islam saat ini sudah mengendap sebagai mindset. Padahal wacana soal moderasi dan toleransi, justru merupaka sesuatu yang baru.

Akhirul kalam

Ulama NU sepakat menyimpulkan; kategori nonmulim atau kafir tak lagi relevan dalam konteks negara modern.

Ikhtiar dalam mengubah kategorisasi ini harus terus dilakukan, sehingga pola pikir masyarakat berubah dan disusul strategi yang mentransformasikan mindset.

Diakui, sebagian umat beragama masih cenderung memelihara permusuhan dan kebencian satu sama lain. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) semua agama di belahan dunia mana pun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com