"Islamofobia ini bukan gejala baru. Ini sesuatu yang sudah lama mengendap, bahkan sebagai mentalitas di kalangan masyarakat nonmuslim di berbagai belahan dunia. Bahkan sudah pula dimapankan, kurang lebih, dalam wacana keagamaan mereka di lingkungan-lingkungan nonmuslim itu," kata Gus Yahya menegaskan.
Dalam keyakinan Gus Yahya, idiom Islamofobia tersebut, bersifat lokal di lingkungan nonmuslim.
Ia kemudian menyinggung diktum kafirofobia di lingkungan umat Islam.
"Di sisi lain sebetulnya kita harus akui juga dari kalangan Muslim ada juga kafirofobia. Dan kafirofobia ini mengendap juga sebagai mentalitas di kalangan umat Islam. Bahkan juga masuk di dalam wacana dan ortodoksi keagamaan di lingkungan Islam," kilah Gus Yahya.
"Kalau saya sebut kafirofobia, ini bisa kepada siapa saja yang nonmuslim. Apakah Judiofobia, Kristofobia, atau Hindufobia dan sebagainya. Secara umum, itu juga masuk dalam wacana keagamaan Islam itu sendiri," ujarnya.
Gus Yahya memaparkan istilah Islamofobia hingga Kafirofobia itu muncul karena warisan dari sejarah yang panjang.
Dia lalu menyinggung perang yang panjang antara dunia Islam dan dunia nonmuslim.
"Kenapa kita punya yang seperti ini? Baik di lingkungan nonmuslim ada Islamofobia, di lingkungan umat Islam ada Kafirofobia. Karena kita mewarisi sejarah dari konflik yang panjang sekali. Selama berabad-abad antara Islam melawan dunia nonmuslim," sebut Gus Yahya.
Misalnya, selama era Turki Utsmani, 700 tahun dari kekuasaan imperium tersebut, kompetisi militer melawan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa di Barat tiada berjeda.
Begitu juga di kawasan timur, Dinasti Mughal sepanjang waktu terlibat konflik yang sangat tajam dengan umat Hindu di India, khususnya India bagian utara.
Sejarah persaingan agama masih mengendap hingga saat ini dan telah menjelma pola pikir masyarakat.
Semua sejarah yang diwarisi umat Islam saat ini sudah mengendap sebagai mindset. Padahal wacana soal moderasi dan toleransi, justru merupaka sesuatu yang baru.
Ulama NU sepakat menyimpulkan; kategori nonmulim atau kafir tak lagi relevan dalam konteks negara modern.
Ikhtiar dalam mengubah kategorisasi ini harus terus dilakukan, sehingga pola pikir masyarakat berubah dan disusul strategi yang mentransformasikan mindset.
Diakui, sebagian umat beragama masih cenderung memelihara permusuhan dan kebencian satu sama lain. Ini adalah pekerjaan rumah (PR) semua agama di belahan dunia mana pun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.