“Sedangkan kriteria dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan tidak mampu dilakukan pembentuk undang-undang,” imbuh petitum tersebut.
Selain Din dan Azyumardi, dalam permohonan itu ada pula nama Nurhayati Djamas, Didin Damanhuri, Jilal Mardhani, Mas Achmad Daniri, Massa Djafar, Abdurahman Syebubakar, Achmad Nur Hidayat, dan Moch Nadjib. Total pemohon berjumlah 19 orang.
Eks penasihat KPK
Pada 2 Februari 2022, Mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua bersama 11 orang lainnya mengajukan gugatan permohonan uji formil UU IKN.
Abdullah dan 11 orang lainnya itu menyatakan tergabung sebagai Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN). Selain Abdullah, mereka yang tergabung antara lain mantan anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara dan politikus Agung Mozin.
Permohon PNKN itu tercatat di laman MK dengan nomor 15/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022 pada 2 Februari 2022.
Baca juga: Belum Genap Sebulan Disahkan, Kini UU IKN Digugat ke MK
"Memohon kepada majelis hakim untuk memeriksa dan memutus, menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum dalam permohonan tersebut, dikutip Kompas.com, Rabu.
Para pemohon menilai, UU IKN bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
UU IKN dinilai tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan, dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.
Dalam permohonannya, para pemohon mengatakan, dalam pembentukannya, UU IKN tidak benar-benar memerhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana.
"Dari 44 pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana," tulis para pemohon.
Baca juga: Isi Judicial Review UU IKN: Pendapat Pakar Tak Dipertimbangkan, Pasal Bertentangan UUD
Kemudian, para pemohon menilai, pembentukan UU IKN tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Selain itu, para pemohon juga berpendapat UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan.
Mereka mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan mayoritas masyarakat menolak perpindahan IKN.
Berikutnya, para pemohon menyatakan, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN.
Berdasarkan penelusuran para pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses.
Baca juga: Hakim MK Minta Uji Formil dan Materiil UU IKN Dipisah
"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.
Karena itu, para pemohon menilai, tampak nyata dan terang benderang pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Sementara itu, secara materiil banyak sekali ketentuan-ketentuan yang bermasalah apabila diberlakukan.
Adapun gugatan tersebut masuk tahap sidang perbaikan permohonan pada Selasa (5/4/2022).
Baca juga: Ini Hari Terakhir Pendaftaran Sayembara Desain Bangunan IKN Berhadiah Rp 3,4 Miliar
Dikutip dari risalah sidang, sidang perbaikan permohonan ini membacakan di antaranya tenggang waktu pengujian formil dan kedudukan hukum dan kerugian pemohon.
Para pemohon mengatakan, dalam sidang perbaikan permohonan ini juga mempertegas pertentangan-pertentangan terhadap UUD 1945 dan Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dianggap sudah dibacakan.
Dengan demikian, para pemohon berharap MK dapat menyatakan UU IKN tidak memenuhi dan bertentangan dengan undang-undang berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.