JAKARTA, KOMPAS.com - Pasca disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada 18 Januari lalu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) kini ramai digugat lapisan masyarakat, mulai dari warga adat, tokoh, hingga guru honorer.
Secara umum, gugatan dari berbagai kelompok masyarakat ini sama yaitu masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan undang-undang.
Kompas.com merangkum sejumlah warga dan tokoh yang melayangkan uji formil UU IKN kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Seorang warga adat
Seorang warga adat Paser Balik di Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU) bernama Dahlia menggugat UU IKN ke MK.
Ia turut terdaftar sebagai pemohon uji formil bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan beberapa figur lain.
“Salah satu pemohon adalah warga yang terdampak langsung. Dalam proses itu (pembentukan UU IKN), dia tidak pernah sama sekali dilibatkan dan sekarang rumahnya justru dipatok sebagai kawasan IKN,” kata perwakilan tim kuasa hukum penggugat, Muhammad Arman, Jumat (1/4/2022).
Baca juga: UU IKN, Ambisi Jokowi yang Digugat Para Tokoh ke MK
Dahlia tinggal sekitar 10 kilometer dari lokasi tempat Presiden RI Joko Widodo dan kolega sempat berkemah beberapa waktu lalu.
“Pemohon kaget karena tiba-tiba rumahnya kok ada patoknya. Bahkan ketika proses presiden roadshow berkemah, dia tidak tahu,” ujar Arman di MK.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sumbolinggi mengatakan, tidak dilibatkannya komunitas adat yang terdampak IKN menjadi fenomena umum dalam pembentukan UU IKN yang serba kilat.
Menurut Rukka, kriteria partisipasi publik secara penuh berdasarkan informasi yang lengkap, serta bebas dari tekanan dan intimidasi, tidak terjadi pada komunitas adat.
Selain itu, suku Paser Balik termasuk salah satu suku yang terancam punah, terlebih lagi usai lahirnya UU IKN yang tidak mengatur secara terperinci soal perlindungan masyarakat adat.
Baca juga: Seorang Warga Adat Terdampak Ibu Kota Baru Ikut Gugat UU IKN ke MK
“Apa pun yang akan berdampak pada hidup kami sebagai masyarakat adat, itu minimal sepengetahuan kami dan kami harus memperbolehkan baru itu bisa terjadi,” ujar Rukka di MK.
“Undang-undang IKN ini membuat mereka hilang, menghilangkan identitas mereka. Mereka dan termasuk kami organisasi masyarakat adat tidak pernah memberikan persetujuan. Tidak ada proses partisipasi masyarakat adat yang hidup dan keberadaannya akan tergantung oleh UU IKN ini, tidak terjadi secara penuh dan efektif,” jelasnya.
Guru honorer dan pengamat sosial
Satu bulan sebelumnya, dua warga dari Tangerang, Banten dan Dumai, Riau mengajukan permohonan uji formil dan materi UU IKN ke MK. Permohonan itu diajukan secara terpisah.
Pemohon pertama, yaitu Herifuddin Daulay, warga Dumai yang bekerja sebagai guru honorer.
Pemohon kedua, yaitu Sugeng, warga Tangerang yang merupakan pengamat sosial dan hukum.
Dikutip dari dokumen permohonan di situs MK, Jumat (11/3/2022), Herifuddin mengatakan, pemindahan ibu kota negara yang diatur dalam UU IKN adalah sebuah pertaruhan dan tidak memiliki keuntungan signifikan bagi masyarakat.
Menurut dia, UU IKN bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Warga dari Tangerang dan Dumai Gugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi
Dalam petitumnya, ia meminta MK menyatakan pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD dan UU IKN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Sugeng menilai, pemerintah dan DPR tergesa-gesa dalam membahas UU IKN tersebut. UU IKN disahkan sekitar 40 hari sejak DPR membentuk panitia khusus RUU IKN.
Kemudian, dia mengatakan, saat ini utang pemerintah sudah mencapai Rp 6 ribuan triliun.
Selain itu, perpindahan ibu kota ke Kalimantan Timur berisiko merusak lingkungan hidup di sekitar lokasi.