JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah melalui penantian panjang sejak era Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), isu kekerasan seksual akhirnya betul-betul mendapat tempat dalam proses legislasi.
Per Januari 2022, DPR sudah menyetujui RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai RUU inisiatif DPR.
Kini, RUU TPKS telah melalui pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pemerintah.
Baca juga: Pemerkosaan Tak Masuk RUU TPKS, Pemulihan Korban Dinilai Jadi Taruhan
Beleid ini sendiri ditargetkan disahkan menjadi produk hukum pada masa persidangan IV tahun sidang 2021-2022.
Cepatnya pembahasan RUU TPKS menjadi kabar baik di tengah kedaruratan kekerasan seksual yang semakin banyak menimbulkan korban di Indonesia.
Namun, proses ini bukan tanpa cela. Kritik muncul karena "pemerkosaan" justru dikeluarkan dari jenis-jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS.
Baca juga: Komnas Perempuan Anggap Tak Diaturnya Pemerkosaan di RUU TPKS sebagai Kemunduran
Ketua Panitia Kerja RUU TPKS Willy Aditya mengaku telah berupaya semaksimal mungkin menampung semua masukan.
"Pemerkosaan" terpaksa dikeluarkan dari daftar kekerasan seksual di RUU TPKS karena dikhawatirkan bakal tumpang tindih dengan ketentuan sejenis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini tengah direvisi.
Dihapusnya "pemerkosaan" dari jenis kekerasan seksual dalam RUU TPKS disayangkan Komnas Perempuan yang menilai hal ini sebagai kemunduran.
Sebab, menurutnya, pemerkosaan adalah "benih dan DNA" yang melahirkan gagasan diperlukannya peraturan khusus dalam hal ini RUU TPKS.