JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai kehadiran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam acara puncak Harlah ke-49 PPP di Pondok Pesantren Al Hikam Malang, Jawa Timur sebagai sesatu hal yang istimewa.
Ia mengakui, kehadiran PBNU dalam acara PPP sudah puluhan tahun tidak terjadi.
"Bagi kami semua di PPP adalah sesuatu yang istimewa, karena boleh dibilang sudah puluhan tahun hal seperti ini tidak terjadi," kata Arsul saat dihubungi Kompas.com, Senin (4/4/2022).
Arsul berpandangan, kehadiran Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf beserta jajaran menunjukkan ada sesuatu yang serius hendak dicapai NU.
Baca juga: APDESI Ingin Jokowi 3 Periode, Waketum PPP: Ada Jalan Keluar Lain
Khususnya, Arsul melihat PBNU tengah serius dengan inklusivitas politik yang disampaikan Yahya pasca terpilih menjadi Ketum PBNU.
"Diakui atau tidak, memang tidak bisa dipungkiri bahwa sejak adanya PKB, maka di lingkungan struktural NU seperti tercipta 'eksklusivitas politik', yakni struktural NU. Meski tidak semuanya meletakan kecondongan yang sangat berat sebelah kepada PKB," jelas Arsul.
Kendati demikian, Wakil Ketua MPR ini menilai hal tersebut tidak perlu dipersoalkan.
Namun, pada sisi yang lain, Arsul mempertanyakan apakah eksklusivitas politik seperti itu merupakan hal yang menguntungkan bagi NU.
Atau, lanjut dia, apakah perlu dikembangkan inklusivitas politik yang memperluas prinsip simbiosis mutualisme yang baru.
"Gus Yahya dan jajarannya tampaknya memilih kebijakan inklusivitas politik ini. Beliau mencoba paradigma politik baru bagi struktural NU, yakni lebih menjaga jarak dan memberi ruang yang relatif lebih besar bagi PPP dan partai-partai lainnya," nilai Arsul.
Di sisi lain, Arsul meyakini bahwa terobosan Yahya soal inklusivitas politik itu akan membawa NU pada arah yang lebih baik.
Sebab, ia menilai hal tersebut dengan menyoroti perolehan suara kepada partai partai politik yang lebih didominasi oleh warga NU.
Menurutnya, secara hitungan kuantitatif sederhana, 50 persen dari jumlah pemilih di Indonesia merupakan warga NU.
"Artinya ada lebih dari 80 juta. Nah perolehan suara PKB itu kan di bawah 15 juta. Ini berarti pula mayoritas pemilih warga NU justru tidak menyalurkan pilihan politiknya ke PKB," ucapnya.
"Dan keadaan ini sudah terjadi dalam lima kali Pemilu sejak 1999, berarti memang sangat sulit kalau tidak ingin mengatakan mustahil untuk menciptakan PKB sebagai satu-satunya saluran politik bagi warga NU," imbuh Arsul.