"Jika diteruskan dapat juga menggrogoti kepastian penyelenggaraan tahapan yang akan segera dimulai oleh penyelenggara pemilu," ucapnya.
Sementara, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Khoirul Umam, menilai, Jokowi kali ini menyampaikan pernyataan "bersayap".
Presiden hanya menyampaikan bakal patuh pada konstitusi dan tidak dengan tegas menolak wacana yang telah berulang kali mengemuka ini.
"Statement itu jelas bersayap. Tidak ada indikasi political will dari presiden untuk secara lebih tegas dan lebih firmed (pasti) menolak wacana ini," kata Umam kepada Kompas.com, Rabu (30/3/2022).
Menurut Umam, diksi "taat konstitusi" mirip dengan pernyataan Presiden Soeharto saat hendak memperpanjang masa jabatannya.
Kala itu, Soeharto menyatakan "taat pada putusan MPR". Sebab, presiden adalah mandataris MPR ketika itu.
Umam menilai, presiden seharusnya bisa lebih tegas menyatakan dirinya menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan presiden alih-alih menyatakan akan taat pada konstitusi.
Akan lebih baik juga jika presiden menegaskan bahwa pemilu akan tetap digelar sesuai jadwal pada 14 Februari 2024.
Umam menyayangkan lingkaran Istana Presiden terus menerus berkelit dengan argumen "taat konstitusi" dan "membuka ruang demokrasi".
Padahal, menurut dia, pilihan kata itu tak ubahnya hanya permainan diksi untuk bermain aman guna membuka ruang manuver lewat pernyataan-pernyataan bersayap.
"Jika Presiden tetap enggan, rasanya memang presiden menikmati langgam permainan politik untuk memperpanjang masa jabatannya itu," ujar Umam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.