JAKARTA, KOMPAS.com - Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto berpandangan bahwa perombakan/reshuffle kabinet di era reformasi lebih banyak dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan politik.
Arif menilai, para presiden setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengambil pelajaran penting dari Gus Dur yang lengser akibat, salah satunya, menghadapi problem konsolidasi kekuasaan.
Kabinet Gus Dur, selama hampir dua tahun kepemimpinannya, mengalami 13 kali pergantian.
"Ketika Gus Dur melakukan perombakan kabinet, itu sebenarnya pada satu sisi kita bisa melihat bahwa Gus Dur punya maksud mengakselerasi kerja pemerintahan, tapi pada saat yang sama memperlemah konsolidasi kekuasaan. Terbukti Gus Dur jatuh di 2001," jelas Arif dalam diskusi daring bertajuk "Jokowi Jengkel: Menuju Reshuffle Kabinet", Minggu (27/3/2022).
Baca juga: Jokowi Diprediksi Reshuffle Kabinet Paling Lambat Juni 2022
"Pelajaran mahal yang terutama dipetik SBY dan Jokowi sebagai presiden yang dipilih langsung melalui pemilu adalah bahwa akomodasi politik menjadi salah satu kata kunci bagi bertahannya pemerintahan," lanjutnya.
Arif menjelaskan, Jokowi bahkan melakukan praktik ini lebih luas daripada SBY, dengan mengakomodasi lawan politiknya seperti Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam kabinet untuk memperbanyak dukungan bagi pemerintah.
"Kita lihat perombakan kabinet pada 2016. Waktu itu pergantian besar cukup frontal, 13 kementerian dan 1 badan, dan di antara alasan terpentingnya adalah untuk mengakomodasi sekutu baru politik, yaitu PAN, PPP, dan Golkar," jelas Arif.
Saat ini, partai-partai pendukung pemerintah sudah menguasai 427 kursi di DPR.
Jika PAN masuk hitungan, maka sudah lebih dari 81 persen total kursi di DPR yang dikuasai partai-partai anggota koalisi pemerintah.
Baca juga: Sambut Wacana Reshuffle, PAN Dinilai Tak Ingin Melemah Seperti Demokrat dan PKS
Arif menilai, beberapa partai terbukti melemah, seperti PKS dan Demokrat, karena terus-menerus berada di luar kabinet Jokowi.
Arif menduga itu menjadi sebab PAN cukup getol mendukung isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga penundaan pemilu.
Sebab, 2 agenda tersebut dianggap juga tampak sedang diupayakan oleh Istana berbarengan dengan pendanaan terhadap megaproyek ibu kota negara (IKN) Nusantara.
"Saya yakin dukungan politik pada IKN dan penundaan pemilu berpengaruh terhadap distribusi kekuasaan dari Jokowi bagi mitra koalisinya," sebutnya.
"PAN kita paham sejak pemerintahan Gus Dur selalu mendapatkan kue kekuasaan, meskipun ketika pemilu presiden mereka memihak presiden yang kalah," kata Arif.
Baca juga: Ketum PAN Merespons Muhaimin soal Reshuffle: Tak Usah Kita Ngatur-ngatur
Sejak PAN menyatakan bergabung ke koalisi pemerintahan, Agustus 2021, kabar reshuffle berulang kali mengemuka.