JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim panel Mahkamah Konstitusi (MK) meminta para pemohon uji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Ibu Kota Negara (IKN) memisahkan pengujian formil dan materiil tersebut yang saat ini dijadikan satu.
Judicial review UU IKN ini teregistrasi dengan nomor perkara 34/PUU-XX/2022, dilayangkan oleh Azyumardi Azra dan 20 pemohon lain.
Dikutip Harian KOMPAS, para pemohon meminta MK membatalkan UU IKN dan menyatakan pasal-pasal yang mengatur format otorita IKN bertentangan dengan konstitusi.
Di satu sisi, UU IKN dianggap tidak memenuhi kaidah yang baik dalam perumusannya alias cacat formil, sehingga para pemohon mengajukan uji formil atas beleid ini.
Pemohon mengutip putusan 91/PUU-XVIII/2020 yang mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam suatu pembentukan undang-undang.
Baca juga: Hakim MK Minta Uji Formil dan Materiil UU IKN Dipisah
Tiga prasyarat yang harus dipenuhi agar sebuah partisipasi disebut bermakna adalah hak untuk 1) didengarkan pendapatnya, 2) dipertimbangkan pendapatnya, dan 3) mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Pemohon mengakui bahwa pembentuk undang-undang telah meminta masukan dari berbagai pihak, baik pakar hukum tata negara, pakar hukum lingkungan dan tata kota, pakar pemerintahan, maupun lainnya terkait UU IKN.
Kuasa hukum pemohon Ibnu Sina menyampaikan, beberapa narasumber yang dihadirkan itu nyatanya mempersoalkan agar pembentukan UU IKN disusun secara tidak berburu-buru, perlu partisipasi publik khusus bagi yang terdampak, dan bahkan perlu studi kelayakan yang cukup.
Namun, pendapat narasumber tersebut hanya digunakan untuk memenuhi kriteria pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard).
Baca juga: Soal Rencana Pernikahan Adik Jokowi dengan Ketua MK di Solo, Gibran: Semoga Lancar
Sementara itu, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya tidak mampu dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Pemohon mencatat sedikitnya 9 pendapat ahli yang disebut tidak dipertimbangkan, di antaranya pendapat Ketua Forum Dewan Guru Besar Indonesia Arief Anshory Yusuf yang disampaikan 12 Desember 2021.
”Naskah akademik (RUU IKN) bisa jauh lebih kredibel jika lebih banyak referensinya dan mengacu pada studi-studi ilmiah kredibel (peer-reviewed journals). Terutama dampaknya terhadap tujuan pemerataan pembangunan (atau lainnya). Perlu lebih jelas, pemerataan pembangunan apa yang ingin dicapai. Vertikal? Antar-regional? Perlu analisis mendalam tentang potensi peningkatan pemerataan tersebut. Saat ini masih lemah,” kata Arief.
Baca juga: Gerakan Masyarakat Sipil Berencana Ajukan Judicial Review UU IKN
Ada pula pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto yang disampaikan pada 11 Desember 2021
”Terkesan adanya semacam disparitas antara substansi naskah akademik (NA) dan RUU. Misalnya, dalam NA ada peninjauan historis sehingga bisa didapatkan potret permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Jakarta yang selama ini menjalankan fungsi ganda, yaitu sebagai daerah otonom provinsi dan sebagai ibu kota negara, di mana hal ini antara lain bersumber pada kebiasaan dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Namun, dalam naskah RUU belum ditemukan suatu penegasan bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut,” ujar Satya.
Dalam hal permohonan uji materiil, para pemohon mempersoalkan Pasal 1 Ayat (2) UU IKN yang mengatur bahwa IKN adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi.