JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengamat menilai, langka dan mahalnya minyak goreng di Indonesia belakangan ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah mengelola industri sawit dengan baik.
Setidaknya ada dua hal yang disoroti, yaitu soal penguasaan sumber daya dan keberpihakan pemerintah pada sawit untuk industri pangan.
Deputi Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo menyampaikan, salah satu isu krusial yang mengemuka sebagai penyebab polemik minyak goreng saat ini adalah adanya dugaan penguasaan sumber daya yang masih terkonsentrasi pada segelintir pemain besar.
Baca juga: Pelaku Industri Minyak Sawit Tolak Kebijakan DMO 30 Persen, Kenapa?
"Berdasarkan data Concentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar yang menguasai usaha perkebunan, pengolahan CPO (crude palm oil/minyak kelapa sawit), dan beberapa produk turunan, salah satunya minyak goreng," kata Rambo dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (25/3/2022).
Siaran pers itu merupakan pernyataan sikap bersama antara Sawit Watch dan beberapa organisasi lain yaitu Elsam (Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat), HuMA, PILNET, dan Greenpeace Indonesia.
"Empat produsen tersebut di antaranya Wilmar International Ltd, Indofood Agri Resources Ltd, Grup Musim Mas, dan Royal Golden Eagle International (RGEI)," lanjut dia.
Struktur pasar seperti itu industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah pada oligopoli, di mana pasar ditentukan oleh segelintir pihak saja.
Rambo menilai, keadaan ini bakal berdampak terhadap konsumen sebagai end-user yang dirugikan.
Pemerintah juga dinilai kurang berpihak pada industri pangan dalam hal minyak kelapa sawit. Kebijakan dalam program biodiesel dianggap sudah menggeser tren konsumsi minyak kelapa sawit dalam negeri.
"Sebelumnya konsumsi dalam negeri didominasi oleh industri pangan, namun sekarang menjadi industri biodiesel," kata Rambo.
Ia memaparkan, konsumsi minyak kelapa sawit untuk biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton tahun 2019 menjadi 7,23 juta ton tahun 2020.
Berbarengan dengan itu, konsumsi minyak kelapa sawit untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 jadi 8,42 juta ton di 2020.
"Pengusaha kini lebih cenderung menyalurkan CPO-nya ke pabrik biodiesel karena pemerintah menjamin perusahaannya tidak bakal merugi," kata Rambo.
"Pasalnya ada kucuran subsidi yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS) jika harga patokan di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional. Sebaliknya, jika CPO dijual ke pabrik minyak goreng, pengusaha tak mendapatkan insentif seperti itu," kata dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.