JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Khusus Kelas IIA Gunung Sindur Mujiarto menyatakan, warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Lapas Khusus Gunung Sindur telah memperoleh hak-haknya sesuai aturan yang berlaku.
Ia memastikan, warga binaan tidak mengeluarkan biaya apa pun selama menjadi warga binaan di Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur. Hal itu, sebagaimana aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
“Pemenuhan hak narapidana di Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak dipungut biaya apa pun," ujar Mujiarto, melalui keterangan tertulis, Rabu (23/3/2022).
Mujiarto menyebutkan, kondisi Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur kini dihuni 874 warga binaan pemasyarakatan dari total kapasitas 1.308 orang.
Menurut dia, warga binaan memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi selama menjalani pemidanaan.
Baca Juga: JEO Jual Beli Lapak Napi di Balik Jeruji...
“Kami sangat menaruh atensi terkait pemenuhan hak narapidana. Alhamdulillah seperti kamar misalnya, mereka bisa menempati kamar yang layak dan tidak berdesak-desakan,” ucap dia.
Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas (KPLP) Khusus Kelas IIA Gunung Sindur, Fajar Teguh Wibowo mengatakan, kondisi blok hunian di Lapas gunung sindur tidak berlebihan.
Ia memastikan bahwa semua blok dan kamar hunian Lapas Gunung Sindur terisi tidak melebihi kapasitas yang tersedia.
“Dapat dipastikan kondisi blok hunian tidak kelebihan penghuni dan ada ruang yang leluasa, nyaman untuk aktivitas WBP," kata Fajar.
"Sebagai Kepala KPLP yang setiap hari melakukan monitoring secara langsung kondisi di blok, saya jamin tidak ada praktik jual beli kamar maupun fasilitas lainnya,” ucap dia.
Lapas Khusus Kelas IIA Gunung Sindur saat ini memiliki empat blok, satu kamar dapur, dan satu sel isolasi. Fajar menyebutkan, kondisi di Blok A pada Lapas tersebut dari kapasitas 108 orang kini hanya dihuni 47 orang.
Sebelumnya, JEO Kompas.com pernah menulis laporan terkait praktik kotor di sejumlah lapas dan rutan.
Data terkait itu mengacu pada laporan lima lembaga, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Jual beli lapak adalah salah satu pelanggaran yang ditemukan, meski tak ditulis secara rinci.
"Minimnya penghasilan menjadi alasan para petugas di Lapas/Rutan menerima suap dari narapidana untuk mendapatkan fasilitas. Rendahnya gaji tak boleh menjadi alasan pembenar untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum dan etika".
"Untuk itu, Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan harus segera mencari solusi untuk meningkatkan integritas tata kelola pemasyarakatan, salah satunya dengan meningkatkan gaji dan fasilitas petugas Lapas/Rutan di seluruh Indonesia," demikian tulis laporan tersebut.
Baca juga: Pengakuan Napi soal Praktik Jual Beli Kamar di Lapas: Harus Bayar buat Tidur...
Temuan itu didapatkan setelah tim melakukan investigasi ke tujuh Lapas/Rutan. Di antaranya yakni Lapas Khusus Kelas 2A Gunung Sindur dan Lapas Kelas 1 Depok.
Salah seorang anggota tim investigasi ini menyebut, praktik jual beli lapak sebenarnya nyaris terjadi di seluruh Lapas/Rutan di Indonesia. Khususnya di tempat koruptor mendekam.
Selain jual beli lapak, tim juga menemukan sejumlah persoalan lain di dalam Lapas/Rutan. Mulai dari jaminan kesehatan bagi warga binaan yang tidak merata, hingga praktik intimidasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.