JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu lembaga penegak hukum dan pencegahan yang didirikan sebagai salah satu amanat reformasi. Namun, di masa kepemimpinan Firli Bahuri lembaga itu malah diliputi sejumlah skandal.
Pada 24 September 2020, Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan, Firli melakukan pelanggaran kode etik ringan dengan menyewa helikopter untuk keperluan pribadi. Sedangkan 30 pada Agustus 2021, Dewas KPK memvonis Lili telah melanggar kode etik berat karena berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial, yang tengah beperkara di KPK.
Dalam putusannya, Dewas KPK menjatuhkan sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan kepada Lili. Namun, putusan itu dinilai terlalu ringan.
Sejumlah peristiwa itu berdampak terhadap persepsi masyarakat terhadap lembaga antirasuah itu.
Baca juga: ICW Nilai Citra KPK Era Firli Bahuri Sulit Diselamatkan
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 22-24 Februari 2022 menunjukkan sebanyak 48,2 persen publik tidak merasa puas dengan kinerja KPK. Survei itu juga memperlihatkan ada 43,7 persen publik yang merasa puas dengan kinerja komisi antirasuah tersebut.
Dilansir dari Kompas.id, jajak pendapat yang melibatkan 506 responden di 34 provinsi itu juga mengungkap sejumlah alasan publik yang menyampaikan ketidakpuasan atas kinerja KPK. Salah satunya, ada 34,3 persen responden yang menilai kinerja Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang tidak optimal.
Selain itu, 26,7 persen responden menyoroti penurunan jumlah operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Permasalahan lain di KPK yang menjadi perhatian masyarakat adalah terlalu banyak kontroversi (18,7 persen responden), citra pimpinan KPK (11,1 persen responden), dan tidak transparan (5,2 persen responden).
Selain itu, juga ada alasan lain seperti kinerja menurun 3,3 persen, sudah tidak independen 0,4 persen, dan pemberlakuan tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap pegawai KPK 0,3 persen.
Baca juga: KPK di Antara Ketidakpuasan Kinerja dan Sikap Pesimistis Publik
Dalam jejak pendapat ini, responden juga mengungkapkan sejumlah hal terkait apa saja yang perlu diperbaiki dari KPK. Misalnya, penindakan tegas bagi pemimpin atau pegawai yang melanggar kode etik sebanyak 32,7 persen, penegakan hukum atau meningkatkan OTT 21,1 persen.
Selain itu, responden juga mendorong KPK melakukan kerja sama antar-lembaga penegak hukum 20,3 persen serta proses seleksi pemimpin dan pegawai yang lebih berintegritas 13,5 persen.
Pengumpulan data survei ini dilakukan dengan cara sambungan telepon terhadap responden. Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.
Metode ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan nirpencuplikan penelitian atau margin of error 4,36 persen.
Kontroversi dan dugaan pelanggaran kode etik yang tidak ditangani secara optimal menjadi penyebab masih tingginya ketidakpuasan publik kepada lembaga antirasuah itu. Perbaikan kinerja dinilai perlu segera dilakukan untuk mengembalikan citra dan kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah tersebut.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, ada tiga rumusan yang bisa ditempuh untuk memperbaiki kinerja KPK di masa mendatang.
Menurut Abdul, langkah pertama adalah sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat memilih pimpinan bukan dari kalangan penegak hukum yang masih aktif.