JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan label baru sertifikasi halal. Label halal baru itu ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) dan mulai berlaku pada 1 Maret 2022 lalu.
Pencantuman label halal wajib dilakukan sebagi tanda kehalalan suatu produk tertentu.
"Label Halal Indonesia ini selanjutnya wajib dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk," kata Sekretaris BPJPH Arfi Hatim melalui keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (13/3/2022).
Ketetapan ini tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022. Terkait keputusan tentang Penetapan Label Halal sebagai pelaksanaan amanat Pasal 37 UU Nomor 33 Tahun 2014.
Label halal terbaru terdiri dari logo yang berbentuk gunungan wayang dan motif surjan berwarna ungu. Kemudian di bawah logogram tersebut terdapat tulisan 'Label Halal Indonesia'.
Baca juga: MUI Sayangkan Logo Halal Baru dari Kemenag Tak Sesuai Kesepakatan Awal
Sebelum ditangani Kementerian Agama, penerbitan sertifikasi label halal di Indonesia dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Lembaga itu didirikan pada 6 Januari 1989 dan fokus melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal.
Sebelum proses sertifikasi halal dilakukan oleh LPPOM MUI, pemerintah menetapkan pelabelan produk yang mengandung babi melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mulai 1976.
Landasan hukumnya adalah Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor 280/Men.Kes/Per/XI/76 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.
Berdasarkan aturan itu, pemerintah memberikan cap peringatan berupa tulisan "Mengandung Babi" dan gambar babi yang dibingkai kotak berbentuk persegi panjang berwarna merah di setiap produk yang dinyatakan tidak halal.
Baca juga: Bertanggung Jawab Atas Fatwa, MUI: Nama MUI Penting Tercantum di Logo Halal
Ketika itu pemerintah memilih memberikan label peringatan itu karena jumlah dan peredaran produk yang mengandung babi masih sedikit. Baru pada 12 Agustus 1985 pemerintah mengubah kebijakan dengan tidak lagi memberi label "Mengandung Babi" di produk non-halal, dan memberikan label "Halal" di produk yang tidak mengandung babi.
Keputusan itu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Produk yang bisa mendapatkan label halal saat itu harus melewati pemeriksaan dan mendapatkan izin dari Departemen Kesehatan (kini Kemenkes).
Pada 1987 seorang dosen bernama Dr. Ir. Tri Susanto dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur melakukan penelitian terhadap sejumlah produk makanan antara lain mie, susu, makanan ringan dan sejenisnya. Dari penelitian itu terungkap sejumlah produk itu mengandung bahan baku gelatin, shortening dan lecithin dan lemak yang tidak menutup kemungkinan berasal dari babi.
Baca juga: Penjelasan Mengenai Beda Sertifikasi Halal Kemenag dan Fatwa Halal MUI
Hasil penelitian Tri dimuat dalam Buletin Canopy yang diterbitkan oleh Ikatan Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang pada Januari 1988. Buletin itu lantas tersebar luas ke beberapa wilayah.
Paparan dalam buletin itu memicu gejolak di tengah masyarakat, terutama kaum Muslimin. Warga Muslim di sejumlah daerah memprotes pemerintah dan menggelar aksi unjuk rasa menuntut pemerintah menjamin kehalalan sebuah produk.
Para pemuka agama saat itu gencar menyampaikan ceramah mengingatkan umat Muslim supaya tak terjebak membeli produk yang tidak halal.