Wacana mengenai pembatasan masa jabatan presiden sudah bermunculan pada akhir 1980-an. Ketika itu gagasan tersebut banyak dibahas di kalangan akademisi dan aktivis karena usia Soeharto sudah memasuki 70 tahun.
Para cendekiawan itu berpikir bahwa usia Soeharto saat itu sudah semakin uzur dan harus dicari penggantinya. Selain itu, para aktivis di kampus-kampus masa itu mengusulkan supaya jabatan presiden dibatasi menghindari kepemimpinan yang otoriter di masa mendatang.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo pada 1992 menyatakan, masa jabatan presiden sebaiknya tidak dibatasi. Dia mencoba meyakinkan masyarakat bahwa meskipun Presiden Soeharto semakin menua, kemampuannya dalam memimpin masih bisa diandalkan.
"Lihat saja, Pak Harto kan masih sehat walafiat. Lebih sehat dari situ. Barangkali situ batuk-batuk, Pak Harto masih sehat walaupun usianya 71 tahun," kata Sudomo.
Baca juga: Yusril: Tak Mungkin Tunda Pemilu, apalagi Perpanjang Masa Jabatan Presiden
"Pak Harto itu masih sehat. Pikirannya juga jelas dan terang. Tinggal bagaimana kepercayaan masyarakat kepada Presiden. Kalau masyarakat masih menginginkan Pak Harto menjadi Presiden, silakan terus," lanjut Sudomo.
Wacana itu semakin kencang berembus setelah Soeharto kembali dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai presiden setelah pemilihan umum 1993.
Soeharto kemudian menanggapi tentang wacana pembatasan masa jabatan presiden itu pada 1994. Saat itu, menurut Soeharto, masalah suksesi kepemimpinan tidak perlu diributkan. Dia menyatakan hal itu di depan sekitar 150 anggota Komite Nasional Pemuda Indonesia di Bina Graha, pada 12 Maret 1994.
"Kapan saya berhenti jadi Presiden? Nanti, setelah saya mempertanggungjawabkan tugas saya setelah lima tahun. Jadi lima tahun lagi baru saya berhenti. Saya tidak setengah-setengah dalam melakukan tanggung jawab," kata Soeharto.
Soeharto ketika itu mengatakan, mekanisme untuk mencari penggantinya sudah dipersiapkan. Apalagi, setelah Pemilu 1993 saat itu usianya sudah menginjak 73 tahun.
"Saya tidak berambisi jadi Presiden seumur hidup, kenapa ribut-ribut," ujar Soeharto saat itu.
Soeharto saat itu juga memberi sinyal akan menyudahi masa kepemimpinannya karena faktor usia.
"Nanti tahun 1998, saya berumur berapa, 77 tahun. Ini juga harus diperhitungkan. Hukum alam juga berlaku dan diperhitungkan. Di mana pun juga, hukum alam itu enggak bisa dianalisa. Ini harus diperhitungkan, dan ini sudah saya perhitungkan. Harus ada," ujar Soeharto.
Saat itu Soeharto juga mengatakan supaya masyarakat tidak perlu khawatir menghadapi suksesi kepemimpinan dan beredarnya wacana pembatasan masa jabatan.
"Ini tidak perlu, ada konstitusi, buat apa ribut-ribut. Sedangkan kalau ada keributan, bangsa kita akan hancur, ini setback, sedangkan yang kita hasilkan belum semuanya," ujar Soeharto.
Siswono Yudohusodo yang saat itu menjabat Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Huta di masa pemerintahan Soeharto juga sempat menyinggung soal wacana pembatasan masa jabatan presiden. Dia mengatakan, setelah Soeharto menyelesaikan program Rencana Pembangunan Lima Tahun pada 1998, masa jabatan penggantinya bakal dibatasi selama dua periode.
Siswono juga mengusulkan supaya pemilihan presiden dilakukan dengan pemungutan suara di MPR.
"Menurut hemat saya, kepemimpinan nasional setelah Presiden Soeharto yang insya Allah setelah tahun 2003, presiden-presiden berikutnya tidak akan memimpin dalam periode yang sangat lama, tetapi cukup satu-dua periode," kata Siswono.
Mantan Menteri Keuangan Frans Seda juga menyampaikan usulan yang serupa. Dia berharap supaya semua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat diberikan kesempatan yang sama untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
"Semua harus diberi kesempatan pencalonan, dengan demikian presiden akan berwibawa," kata Frans.
Frans juga menganjurkan agar proses pemilihan presiden saat itu dikoreksi supaya presiden mempunyai legalitas konstitusional.
Frans Seda tidak sependapat soal tuduhan para elite politik di pemerintahan saat itu terkait isu suksesi Soeharto bisa menjadi pemicu konflik di Indonesia. Menurut dia, potensi konflik di Indonesia adalah ketidakadilan, stabilitas yang terlalu mencekam dan menimbulkan rasa tidak aman, serta hukum yang mengatasnamakan keadilan tetapi berlaku tidak adil.
Akan tetapi, tanda-tanda suksesi atas kepemimpinan Soeharto tak juga muncul. Golkar sebagai pendukung utama Soeharto kembali menang pada Pemilu 1997. Fraksi ABRI di DPR saat itu juga terus mendukung Soeharto untuk kembali memimpin.
Namun, langkah Soeharto untuk menyelesaikan program Repelita berakhir pada Mei 1998. Soeharto memutuskan berhenti dari jabatannya setelah didesak turun melalui gelombang demonstrasi menuntut perbaikan tata kelola pemerintahan yang dilakukan para mahasiswa.
Kemudian, pada 1999 dilakukan pemilihan umum dan dilakukan perubahan pada UUD 1945 yang salah satu poin utamanya adalah membatasi masa jabatan presiden yang berlaku sampai hari ini. Keputusan itu diambil untuk menutup celah kepemimpinan yang otoriter yang pernah dialami Indonesia di masa lampau.
Sumber:
Kompas edisi 8 Juli 1992: "Menko Polkam Sudomo: Masa Jabatan Presiden Merupakan Kepercayaan Masyarakat".
Kompas edisi 13 Maret 1994: "Presiden Soeharto: Saya tidak Berambisi Jadi Presiden Seumur Hidup, Kenapa Ribut-ribut".
Kompas edisi 28 Agustus 1997: "Pasca Pak harto, Presiden Cukup Satu-Dua Periode * "Voting", Pemilihan Presiden Sesuai UUD 45".
(Penulis Fika Nurul Ulya | Editor Fitria Chusna Farisa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.