JAKARTA, KOMPAS.com - Suasana kawasan Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada 15 Maret 1980 penuh oleh masyarakat. Siang itu cuaca cerah.
Mereka datang untuk menyaksikan pemakaman pahlawan nasional dan mantan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia Mohammad Hatta.
Masyarakat saat itu menyemut di sepanjang rute perjalanan mobil jenazah dari rumah duka di Jalan Diponegoro menuju Tanah Kusir.
Sebagai tokoh bangsa, Hatta sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Namun, sebelum ajal tiba, Hatta menuliskan surat wasiat supaya dimakamkan di pemakaman biasa.
"Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya," tulis Hatta dalam surat wasiat yang ditulis pada 10 Februari 1975, seperti dikutip dari Historia.id.
Baca juga: Megawati Cerita Nostalgia Masa Kecil dengan Bung Hatta, Selalu Cemas Saat Bertemu
Mulanya Hatta berwasiat ingin dimakamkan di TPU Karet, Jakarta Pusat. Namun, saat itu Presiden Soeharto memilih supaya jasad Hatta dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Soeharto lantas meminta pendiri PT Bangun Cipta Sarana Ir. Siswono Yudo Husodo, yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perumahan Rakyat (1988-1993) dan Menteri Transmigrasi (1993-1998), untuk merancang makam bagi Hatta. Makam itu juga dirancang untuk menampung jasad Siti Rahmiati atau Rachmi Hatta saat wafat.
Rachmi mulanya menolak usulan itu, tetapi setelah dibujuk oleh Presiden Soeharto akhirnya dia dan keluarga menerima.
Baca juga: Kisah Penahanan Bung Hatta di Pesanggrahan Menumbing Bangka Barat (Bagian I)
Menurut anak sulung Hatta, Meutia Hatta, dalam surat wasiat itu sang ayah bukan hanya menyinggung soal syarat lokasi peristirahatan terakhir. Namun, kata dia, sang ayah juga menyampaikan pernyataan tentang Sukarno yang melahirkan Pancasila.
Meutia mengatakan setelah rezim Orde Lama tumbang, muncul berbagai gagasan yang seolah-olah mengecilkan peran Sukarno dalam melahirkan asas Pancasila. Anak pertama Sukarno, Guntur Soekarnoputra, menyampaikan langsung persoalan itu kepada Hatta.
Hatta, kata Meutia, kemudian bereaksi dengan menulis surat wasiat yang berisi penegasan terhadap peran Sukarno dalam kelahiran Pancasila.
Baca juga: Kisah Penahanan Bung Hatta (Bagian 2): Menolak Berunding dan Munculnya 3 Poros Kekuatan
Selain itu, Meutia mengatakan permintaan sang ayah supaya tidak dimakamkan di TMP Kalibata adalah sebuah bentuk sikap penolakan terhadap kebijakan pemerintahan saat itu. Sebab, kata Meutia, pemberian gelar pahlawan dan keputusan tentang siapa yang berhak dimakamkan di TMP Kalibata disisipi kepentingan politik.
"Karena ya barangkali dalam situasi ketika itu Bung Hatta agak kecewa karena yang menurut beliau tidak patut menjadi pahlawan ada di situ juga," kata Meutia.
(Sumber: "Wasiat Bung Hatta" dari Historia.id, 1 April 2020)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.