JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mempertanyakan logika putusan majelis kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memangkas hukuman bagi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo dengan alasan berkinerja baik. Majelis kasasi MA memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara.
"Bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi. Namun, pada saat yang sama disebut berkinerja baik?," kata Reza kepada Kompas.com, Kamis (10/3/2022).
Menurut Reza, perbuatan korupsi justru menurunkan kepuasan kerja. Ketika kepuasan kerja turun, maka kinerja pun akan anjlok.
"Korupsi akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif. Konsekuensinya performa (kinerja) akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi," ucap Reza.
Baca juga: Kritik Alasan MA, YLBHI: Justru Saat Jadi Menteri, Edhy Prabowo Korupsi
Menurut Reza, ketika seorang pejabat negara melakukan korupsi maka hal itu harus diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya. Dia mengatakan integritas seharusnya menjadi elemen mutlak dalam penilaian kinerja seorang pejabat publik.
"Selama elemen itu belum terpenuhi, maka elemen-elemen lainnya tak lagi menentukan," ucap Reza.
Reza mengatakan faktor meringankan dalam putusan kasasi Edhy Prabowo yang mengaitkan kinerja baik dari organisasi dengan seseorang yang melakukan korupsi tidak tepat. Perilaku koruptif itu, kata dia, justru menandakan Edhy memiliki komitmen rendah pada organisasi tempatnya bekerja.
"Dengan komitmennya yang rendah, bagaimana mungkin ia sepenuhnya berpikir dan bekerja untuk membawa kebaikan bagi lembaganya?," ujar Reza.
Baca juga: Pakar Kritik MA yang Pangkas Vonis Edhy Prabowo: Seharusnya Diperberat
"Jadi kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasil dari kerja para personel birokrasi kementerian itu sendiri, bukan akibat atau kontribusi dari prjabat yang melakukan korupsi," lanjut Reza.
Pada pengadilan tingkat pertama, Edhy dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda senilai Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dijatuhi pidana penghanti senilai Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar Amerika.
Edhy melalui kuasa hukumnya lantas mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Oleh majelis hakim PT Jakarta hukumannya justru diperberat menjadi 9 tahun penjara.
Setelah itu, Edhy mengajukan kasasi ke MA. Tiga majelis kasasi MA yakni Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih memutuskan memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara pada Senin (7/3/2022) lalu. Majelis kasasi tetap mengenakan hukuman pidana uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan 77.000 dolar Amerika Serikat atau Rp 1,09 miliar kepada Edhy.
Majelis kasasi menilai Edhy telah bekerja dengan baik dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Dalam amar putusannya, para hakim menganggap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 adalah upaya untuk mensejahterakan rakyat khususnya nelayan kecil.
“Faktanya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Edhy) sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya bagi nelayan,” kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan pers, Rabu (9/3/2022).
Sebab para eksportir lobster diwajibkan mengambil benih lobster dari nelayan. Selain memangkas pidana penjara, majelis kasasi juga mengurangi masa pencabutan hak politik Edhy menjadi 2 tahun dari sebelumnya selama 3 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.