JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Edhy Prabowo mendapat angin segar atas kasus suap yang menjerat dirinya.
Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini memangkas hukumannya menjadi 5 tahun penjara.
Padahal, sebelumnya, di tingkat banding hukuman Edhy diperberat oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjadi 9 tahun penjara.
Keputusan Majelis Hakim MA menyunat hukuman Edhy pun disayangkan oleh banyak pihak.
Baca juga: MA Sunat Hukuman Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun Penjara
Berikut perjalanan kasus Edhy Prabowo dari awal hingga mendapat potongan hukuman.
Edhy menjadi menteri pertama di Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Joko Widodo yang terjerat kasus korupsi.
Ia terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa, 24 November 2020.
Edhy dicokok KPK saat ia dan sejumlah pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, sepulang dari kunjungan kerja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Setelah melakukan pemeriksaan, Rabu, 25 November 2020 KPK menetapkan Edhy sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Baca juga: Alasan MA Sunat Hukuman Edhy Prabowo: Bekerja Baik Selama Jadi Menteri
Selain Edhy, KPK juga menetapkan 6 tersangka penerima suap lainnya yaitu staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Andreau Pribadi Misata, dan seorang bernama Amiril Mukminin.
Kemudian, seorang tersangka lagi bernama Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito disangkakan sebagai pemberi suap.
Pasca-ditetapkan sebagai tersangka, Edhy mengaku bahwa tindakannya itu adalah kecelakaan. Ia juga menyebut akan bertanggung jawab dan meminta maaf pada masyarakat.
“Saya minta maaf pada seluruh masyarakat, khususnya masyarakat perikanan yang mungkin banyak terkhianati,” ucap dia.
Setelah proses penyidikan usai, Edhy mulai menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 April 2021.
Saat menjalani sidang dakwaan, Edhy mengaku tak bersalah. Ia juga mengaku lalai karena tidak mampu mengontrol staf-stafnya.
Baca juga: ICW Nilai Putusan MA Pangkas Vonis Edhy Prabowo Absurd
"Saya merasa tidak salah dan saya tidak punya wewenang terhadap itu," kata Edhy usai persidangan, dikutip dari Antara.
"Yang harus dicatat saya bertanggung jawab terhadap kejadian di kementerian saya, saya tidak lari dari tanggung jawab tetapi saya tidak bisa kontrol semua kesalahan yang dilakukan oleh staf-staf saya. Sekali lagi kesalahan mereka adalah kesalahan saya karena saya lalai," tuturnya.
Mantan anggota DPR itu juga mengaku tak punya niat untuk korupsi.
Namun, tiga bulan setelahnya atau 15 Juli 2021, majelis hakim menjatuhkan vonis 5 tahun penjara terhadap kader Partai Gerindra itu.
Selain itu, Edhy juga dihukum denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Edhy juga dihukum untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS subsider 2 tahun penjara.
Majelis hakim juga mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun terhitung sejak dia selesai menjalani masa pidana pokok.
Oleh majelis hakim, Edhy dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001.
Edhy dianggap telah menerima suap terkait pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster (BBL) sebesar Rp 25,7 miliar dari para eksportir benih benur lobster.
Adapun vonis pidana Edhy sesuai dengan tuntutan jaksa KPK. Namun demikian, majelis hakim memberikan pencabutan hak politik lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa yakni 4 tahun.
Setelah vonis ditetapkan, Edhy mengajukan banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. November 2021, majelis hakim pengadilan tinggi memperberat hukuman Edhy menjadi pidana penjara 9 tahun.
Selain itu, Edhy diwajibkan membayar denda Rp 400 juta yang dapat diganti pidana kurungan selama 6 bulan.
Majelis hakim tingkat banding juga menetapkan pidana pengganti senilai Rp 9,68 miliar.
“Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka akan dipidana selama 3 tahun,” demikian dikutip dari amar putusan di laman Direktori Putusan MA, Kamis (11/11/2022).
Baca juga: Gali Keterangan Anggota DPRD DKI, KPK Dalami Prosedur Penyelenggaraan Formula E
Selain itu, majelis hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama yang mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun.
Adapun putusan nomor 30/PID.TPK/2021/PT DKI itu dibacakan pada 1 November 2021 oleh hakim ketua Haryono bersama dengan dua hakim anggota, yaitu Reny Halida dan Branthon Saragih.
Tak terima atas putusan Pengadilan Tinggi DKI, Edhy mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Senin, 7 Maret 2022, majelis hakim MA memutuskan untuk memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara.
Baca juga: Periksa 6 Saksi, KPK Dalami Aliran Uang untuk Setiap Perkara yang Ditangani Hakim Itong
Putusan itu diambil oleh tiga majelis kasasi yaitu Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp 400 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” tulis amar putusan MA yang diterima Kompas.com, Rabu (9/3/2022).
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, alasan pemangkasan vonis itu adalah karena Edhy bekerja dengan baik selama menjabat sebagai Menteri KP.
“Faktanya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI (Edhy) sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya bagi nelayan,” tuturnya.
Dalam pandangan hakim kasasi, kinerja Edhy yang dinilai baik karena mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Langkah Edhy ini dinilai bermanfaat untuk untuk kesejahteraan masyarakat.
“Yaitu ingin memberdayakan nelayan dan juga untuk dibudidayakan karena lobster di Indonesia sangat besar,” ujar Andi.
Selain itu MA juga mengurangi pencabutan hak politik Edhy. Sebelumnya di tingkat pertama majelis hakim memutuskan mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun.
Namun MA menguranginya dengan mencabut hak politik Edhy selama 2 tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.