“WIJ studeren historie om wijs te worden van te voren.” (Kita belajar sejarah agar kita bisa bijaksana lebih dahulu.) Begitu Ir Soekarno, Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia, kutip Profesor Sir John Robert Seeley (1834-1895), ahli sejarah dari University of Cambridge (Inggris) dalam pidato pada Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Minggu 15 Juli 1945 di Jakarta.
Pesan bersikap bijak terhadap sejarah, saat belajar suatu peristiwa, dari Profesor Seeley itu, masih dikutip hingga awal abad 21. Dalam buku, The Expansion of England (1883: 198), Profesor Seeley menulis, “We shall all no doubt be wise after the event; we study history that we may be wise before the event.” (Collini et al., 1983:225; Aldrich, 2006:31)
Baca juga: Dampak Buruk Kapitalisme: Tingginya Kesenjangan Sosial dan Individualisme
Soekarno belajar sejarah Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Kedua perang itu bermula dari zona Eropa. Apa akar masalahnya? Soekarno menemukan bahwa kedua perang dunia itu berasal-usul dari dasar falsafah bangsa: individualisme. Di bidang ekonomi, filosofi ini melahirkan ekonomi-liberal dengan semboyan laissez faire, laissez passer atau ekonomi pasar persaingan-bebas.
“Tentang persaingan merdeka, tidak ada satu paham persaingan, tidak ada satu concurrentie yang tidak mengandung satu konflik di dalam batinnya; maka oleh karena itu, penuhlah dunia dengan konflik,” papar Soekarno di depan Rapat Besar BPUPKI 15 Juli
1945 itu.
Karena itu, Ir Soekarno, Ketua Panitia Hukum Dasar BPUPKI, menolak dasar falsafah individualisme untuk rancangan Undang-udang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kini mata dunia tertuju ke perang Rusia vs Ukraina. Jika kita lihat tren perang Rusia vs Ukraina hingga 6 Maret 2022, sekilas pesan Soekarno tersebut di atas, masih valid.
“History, we know, is apt to repeat itself,” tulis novelis-wartawan George Eliot (1819-1880) asal Inggris dalam karya fiksi Scenes of Clerical Life (1858:x). Sejarah cenderung berulang. Amsal Eliot ini dimasukkan oleh Fred R Shapiro (2021:658) dan Jeniffer Speake (2008) sebagai satu dari ratusan amsal atau kata-kata bijak awal abad 21.
Jika lihat gambar di atas, terlihat sekilas, cuma negara asal benua Afrika dan Amerika Selatan, belum aktif-terlibat mengirim bantuan senjata ke Ukraina. Sedangkan negara dari tiga benua – Eropa, Asia (Jepang), Amerika Utara, dan Australia – mengirim bantuan militer ke Ukraina dalam perang melawan Rusia. Dari Asia, hanya Jepang mengirim bantuan militer untuk Ukraina.
Korea Selatan, menurut Gawon Bae (2022) dan Yoonjung Seo (2022), melarang tujuh bank dan afiliasinya asal Rusia melakukan tranksaksi SWIFT dengan Korea Selatan, serta mengirim bantuan kemanusiaan ke warga-sipil Ukraina. SWIFT (Worldwide Interbank Financial Telecommunication) adalah jasa pesan kunci (key messaging service) koneksi telekomunikasi lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia.
Tiongkok tidak mengirim bantuan militer dalam konflik Rusia vs Ukraina. Sedangkan Menteri Luar Negara 10 negara ASEAN, termasuk Negara RI, pada 3 Maret 2022, menyerukan gencatan senjata dan dialog kedua negara.
Sikap mayoritas negara Asia ini menunjukkan visi para pendiri NKRI (BPUPKI) tentang perang atau damai, masih valid hingga awal abad 21.
Individualisme, menurut Soekarno, menimbulkan kapitalisme, imperialisme, dan perang. Falsafah individualisme menjerumuskan suatu bangsa ke suasana konflik kebatinan antar-negara, rasa nasionalisme sempit dan agresif.
“Justru pertentangan dalam kebatinan negara-negara, itulah yang membuat dunia di Eropa dan Amerika menjadi dunia yang penuh dengan konflik, pergoncangan, dengan pertikaian klassenstrijd, dengan peperangan,” papar Soekarno di depan Rapat Besar BPUPKI pada 15 Juli 1945 tersebut.
Baca juga: Kiriman Senjata dari Barat ke Ukraina Sudah Mulai Digunakan, Bagaimana Pengaruhnya?
Soekarno menyebut contoh. Karena ada konflik-konflik dalam kalbu bangsa-bangsa, timbul perasaan nasionalisme sempit dan nasionalisme menyerang. “Rasa nasionalisme yang agresif di dalam kalbu bangsa Inggris misalnya menimbulkan semboyan ‘Rule Brittannia, rule the waves, Britains never shall be slaves’; yang di dalam kalbu bangsa Jerman menimbulkan semboyan ‘Deutschland über alles’,” ungkap Soekarno.
Untuk mencegah perang antar-bangsa skala kawasan di Asia, menurut Soekarno, bangsa-bangsa Asia tidak memasukan dasar falsafah individualisme ke dalam UUD.