JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mulai melonggarkan mobilitas masyarakat di tengah pandemi Covid-19, menyusul turunnya laju kasus.
Salah satu pelonggaran mobilitas yang dilakukan pemerintah adalah menghapus wajib menunjukkan hasil negatif antigen dan polymerase chain reaction (PCR) bagi pelaku perjalanan dalam negeri yang sudah divaksinasi dosis kedua dan dosis ketiga (booster).
Selain itu, masa karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) dipangkas menjadi satu hari, apabila sudah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap.
Selanjutnya, seluruh kegiatan olahraga dapat menerima penonton secara fisik dengan kapasitas disesuaikan dengan status PPKM, status vaksinasi booster dan menggunakan aplikasi PeduliLindungi.
Baca juga: Masa Karantina Pelaku Perjalanan Luar Negeri Dikurangi Jadi 1 Hari
Para pakar dan ahli kesehatan merespons pelonggaran aktivitas yang diterapkan pemerintah tersebut.
Epidemiolog Indonesia dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyayangkan kebijakan penghapusan tes antigen dan PCR sebagai syarat perjalanan domestik.
Sebab, hingga saat ini, testing Covid-19 masih menjadi hal yang penting dilakukan untuk melihat situasi pandemi saat ini.
“Tes ibarat mata kita terhadap virus. Tanpa tes yang memadai kita tidak dapat melihat di mana virus atau ke mana arahnya,” tutur Dicky pada Kompas.com, Senin (7/3/2022).
Dicky mengatakan, meski testing bisa saja dihilangkan sebagai syarat perjalanan. Namun, polanya bisa diubah dengan bersifat target oriented atau surveilans pada satu wilayah tertentu.
Sehingga kesehatan seseorang terdeteksi dari testing pemerintah pada lokasi tempat tinggalnya.
Namun, ia meminta pemerintah tidak terburu-buru menerapkan kebijakan baru ini.
Sebab, vaksinasi tetap tidak bisa menggantikan testing karena keberadaan virus corona masih menyebar secara luas.
“Dunia sudah memiliki vaksin (Covid-19), tapi itu tidak berarti kita berhenti dalam upaya untuk melihat di mana virus itu berada sehingga kita dapat beradaptasi dengan cepat jika dan ketika varian atau gelombang baru merebak,” jelasnya.
Baca juga: Roadmap Menuju Endemi, Kemenkes: Pelonggaran Prokes Tak Diterapkan Bersamaan
Sementara itu, Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, pemerintah harus mencabut kebijakan tersebut apabila berdampak pada lonjakan kasus Covid-19.
Ia juga meminta pemerintah untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dalam penerapan pelonggaran skrining perjalanan tersebut.
"Dilakukan dengan pemantauan ketat, jadi kalau misalnya angka harian naik atau angka bed occupancy rate RS di kota-kota itu naik, kebijakan itu segera dicabut," kata Zubairi saat dihubungi Kompas.com, Senin.
Zubairi mengingatkan, meski laju kasus Covid-19 sudah mengalami penurunan, namun penularan virus Corona khususnya varian Omicron masih terjadi, bahkan menyebabkan kematian.
"Jadi tolong ini perlu monitor dan perlu dicatat walau kasus Covid-19 sudah turun, tetap ada pasien yang meninggal, 200 orang meninggal tidak sedikit dan ini tidak nyaman kan," ujarnya.
Adapun Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, alasan dihapusnya aturan wajib tes antigen dan PCR bagi pelaku perjalanan tersebut dengan mempertimbangkan cakupan vaksinasi Covid-19 yang sudah cukup luas.
Saat ini, cakupan vaksinasi Covid-19 dosis satu sudah cukup tinggi yaitu 91 persen dan 71 persen masyarakat sudah mendapatkan vaksinasi dosis kedua.
Bahkan, hasil survei nasional menunjukkan bahwa 80 persen penduduk sudah memiliki antibodi.
"Sehingga kita melihat bahwa proteksi vaksinasi pada orang itu juga sudah didapatkan," kata Nadia dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (8/3/2022).
Meski demikian, ia mengatakan, pemerintah tetap mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 akibat pelonggaran tersebut.
Nadia mengatakan, pemerintah tidak bisa menolkan kasus Covid-19, sehingga masyarakat harus bisa hidup bersama Covid-19.
"Kita tahu kita tidak mungkin menolkan kasus Covid-19, kita akan hidup dengan Covid-19 sehingga yang paling penting kalau terjadi peningkatan kasus kita bisa mengatasinya dan tidak membebani Fasyankes," ujarnya.
Meski pemerintah menyebutkan bahwa kasus Covid-19 sudah mengalami tren penurunan dalam beberapa hari terakhir, namun, kasus kematian masih tinggi.
Data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 pada Selasa (8/3/2022) menunjukkan bahwa penambahan kasus harian kematian sebanyak 401.
Angka ini menjadi penambahan kasus harian kematian tertinggi selama 2022. Sehingga total kematian akibat Covid-19 kini mencapai 150.831.
Jubir Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hal ini menjadi perhatian pemerintah karena kasus kematian akibat Covid-19 paling tinggi terjadi pada kelompok yang belum mendapatkan vaksinasi.
"Jumlah kematian masih menunjukkan peningkatan yaitu sekitar 16,78 persen dibandingkan minggu sebelumnya," kata Nadia.
Baca juga: 5 Pelonggaran Pemerintah dalam Masa Transisi Menuju Aktivitas Normal
Data Kemenkes menunjukkan bahwa dari total 8.230 pasien Covid-19 yang meninggal dunia di rumah sakit, 70 persen di antaranya belum mendapatkan vaksinasi lengkap.
Sementara itu, 56 persen di antaranya merupakan kelompok lansia dan 51 persen di antaranya adalah mereka yang memiliki komorbid.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa masih terlalu dini bagi negara-negara di dunia untuk menyatakan menang melawan Covid-19 maupun menghentikan upaya untuk mencegah penularan virus Corona.
Sebab, menurut Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, hingga saat ini masih banyak negara yang tengah menghadapi kasus kematian dan angka perawatan pasien yang cukup tinggi.
Selain itu, ia mengatakan, transmisi penularan virus Corona dan ancaman varian baru virus Corona masih membahayakan.
Baca juga: Pelonggaran PPKM Jakarta di Tengah Angka Kematian yang Belum Turun
Oleh sebab itu, Tedros meminta seluruh negara tetap melakukan penanganan dan pengendalian kasus Covid-19 seperti yang disarankan WHO.
"Terlalu dini menyatakan kemenangan melawan Covid-19, banyak negara masih menghadapi tingkat perawatan dan kasus kematian tinggi, dengan transmisi tinggi serta ancaman varian baru. Kami mendesak semua pihak untuk berhati-hati dan semua pemerintah tetap berada pada jalurnya," kata Tedros melalui akun resmi Twitternya @DrTedros, Senin (7/3/2022).
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.