PANDEMI Covid-19 yang mengisolasi orang di sekat-sekat domestik meningkatkan penggunaan internet secara drastis dan membuat kekerasan seksual online semakin endemik.
Komnas Perempuan melalui CATAHU 2021 melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) meningkat selama pandemi hingga 299.911 kasus.
Kondisi ini tidak didukung oleh peraturan yang mumpuni dan pro-penyintas. Bahkan acap kali peraturan justru menjadi bumerang bagi pelapor atau penyintas.
Sepanjang tahun 2020, terjadi lonjakan kasus yang cukup menyita perhatian pada kekerasan berbasis gender siber/online (KBGO), yakni sebesar empat kali lipat sepanjang tahun 2020.
Jenis kekerasan ini dapat berupa online grooming (pengiriman chat mesum dan bujuk rayu), menguntit di media sosial, malicious distribution (menyebar tanpa izin rekaman atau gambar hubungan intim), hingga pelecehan seksual di media sosial.
Dari sekian jenis tersebut, dua jenis kasus paling tinggi adalah kasus online grooming (307 kasus) dan malicious distribution (370 kasus).
Pada 18 Januari 2022 lalu, pemerintah Indonesia menetapkan RUU TPKS sebagai pengganti dari RUU PKS 2017.
Sayangnya, dalam undang-undang baru ini penggunaan media online yang memfasilitasi kekerasan seksual luput dari perhatian.
Dari total 73 pasal yang dimuat dalam RUU TPKS, hanya pasal 10 yang mencantumkan kata siber di dalamnya.
Contoh kasus online grooming masih hangat kejadiannya di telinga kita, saat bulan
Desember 2021, seorang CEO sebuah start-up ternama menggoda calon pelamar kerja
melalui LinkedIn.
Dengan bersembunyi di balik proses perekrutan, CEO meminta si pelamar mengirimkan foto pribadi mengenakan baju pramugari; yang lantas dilakukan oleh pelamar.
Masih bulan yang sama, seorang pria yang mengaku berjabatan Human Capital Section
Head salah satu perusahaan besar, dengan lebih dari 500 followers di LinkedIn berusaha mendekati perempuan pelamar kerja dengan modus menawarkan pekerjaan, yang pada akhirnya berujung dengan mengirimkan foto-foto kemaluannya.
Para pelaku kekerasan seksual memandang platform jejaring profesional seperti LinkedIn cenderung membuat korban lengah.
Apalagi jabatan pelaku di perusahaan ternama bisa membuat mereka tampak kredibel bagi para pencari kerja yang berusaha keras bertahan hidup di tengah goncangan pasar kerja akibat pandemi Covid-19.
Tentunya ini tidak hanya terjadi dalam platform berjejaring profesional. Di Twitter dan Instagram, para influencer kerap menyapa dan mencoba tampak akrab dengan para penggemarnya.
Interaksi penggemar dengan idolanya ini bisa berujung menjadi online grooming, ketika para influencer mengeksploitasi ketertarikan penggemarnya untuk mengirimkan pesan seksual tanpa seizin mereka.
Selain itu ada pula malicious distribution, bentuk KBGO dengan jumlah laporan tertinggi. Contohnya sudah terlalu lazim didengar dalam keseharian.
Pasalnya, kasus ini sering terjadi di lingkaran terdekat korban, seperti pada hubungan romantis (pacar atau mantan pacar) pelaku mengintimidasi akan menyebarkan foto atau video korban jika korban tidak menuruti permintaan pelaku.
Bisa jadi rekaman foto atau video tersebut dibuat atas consent kedua belah pihak, tapi tidak untuk disebarluaskan.
Contoh yang belum lama ini terjadi adalah tersebarnya video rekaman hubungan intim penyanyi Gisella Anastasia tahun 2021.
Sejauh ini penegakan hukum di Indonesia tidak pro-penyintas. Kasus Gisel, misalnya, yang seharusnya menempatkan Gisel sebagai korban malicious distribution, justru malah menyeretnya menjadi tersangka karena dijerat Pasal 27 UU ITE dan/atau Pasal 4 UU
Pornografi.