Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keppres Hari Kedaulatan Negara dan Peran Soeharto di Serangan Umum 1 Maret

Kompas.com - 03/03/2022, 14:40 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Peran Presiden Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 kembali menjadi sorotan setelah namanya tidak tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Beleid tersebut mengatur penetapan Hari Penegakan Kedaulatan pada 1 Maret, merujuk pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dikenal publik turut melibatkan sosok Soeharto.

Dalam Keppres yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Februari 2022, hanya Sultan Hamengku Buwono IX, Jenderal Soedirman, Sukarno dan Mohammad Hatta yang disebut ikut berperan menggagas Serangan Umum 1 Maret 1949.

Menurut narasi sejarah selama masa Orde Baru, Soeharto yang ketika peristiwa itu terjadi berpangkat Letnan Kolonel dan menjabat Komandan Brigade X Komando Wilayah Pertahanan (Wehrkreise) III disebut menjadi tokoh utama dalam serangan itu.

Baca juga: Soal Serangan Umum 1 Maret, Sultan HB X: Semestinya Terjadi Tanggal 28 Februari 1949, tapi...

Dalam buku otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto mengatakan, dia marah setelah mendengarkan siaran radio pada awal Februari 1949 yang melaporkan tentang perdebatan antara delegasi Indonesia dan Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat itu, perwakilan Belanda menyatakan di depan PBB kalau Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia sudah hancur.

Sebab, pasukan Belanda menggelar Agresi Militer Kedua dan sudah menguasai Ibu Kota yang saat itu berada di Yogyakarta pada 19 Desember 1948. menangkap serta mengasingkan Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Bangka Belitung.

Di dalam buku itu Soeharto kemudian mengatakan dia menggagas Serangan Umum 1 Maret.

Akan tetapi, klaim Soeharto tentang peran utama dia di Serangan Umum 1 Maret dalam buku itu diragukan sejumlah kalangan. Menurut Batara R. Hutagalung yang menulis buku Serangan Umum 1 Maret 1949: Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat, Soeharto saat itu masih punya atasan yakni Kolonel Bambang Soegeng sebagai Komandan Divisi III. Sedangkan Panglima Jenderal Soedirman juga masih bergerilya.

Baca juga: Serangan Umum Surakarta: Latar Belakang, Kronologi, dan Penyelesaian

Dari sisi pangkat dan kewenangan serta jumlah pasukan yang dipimpin Soeharto saat itu sejumlah sejarawan meragukan jika dia memang menjadi penggerak utama.

Di sisi lain, Atmakusumah dalam artikel "Dua Versi Serangan Umum" yang terbit di Kompas 1 Maret 1999 menyebutkan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX adalah yang memprakarsai Serangan Umum 1 Maret.

Sultan saat itu dilaporkan merasa prihatin dengan semangat juang rakyat yang menurun. Sebab pasukan Belanda sudah menduduki Yogyakarta dan juga menyatakan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tahanan rumah.

Maka dari itu Sultan Ham Buwono IX merasa perlu menciptakan kejutan untuk melecut semangat juang. Kebetulan pada 1 Maret 1949 digelar rapat Dewan Keamanan PBB yang salah satunya membahas tentang situasi Indonesia dan Belanda.

Hamengku Buwono IX lantas berpikir itulah momentum yang tepat untuk mengembalikan semangat juang dan menunjukkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia. Sultan Hamengku Buwono IX kemudian mengirimkan utusan untuk menyampaikan siasatnya melalui surat kepada Jenderal Soedirman yang tengah bergerilya.

Baca juga: Presiden Tetapkan 1 Maret Sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara

Setelah itu, barulah Sultan bertemu dengan komandan Wehrkreise III Letkol Soeharto dan Komandan Divisi III Kolonel Bambang Soegeng pada pertengahan Februari 1949. Pembicaraan tersebut berisi seputar perencanaan serangan dalam dua minggu ke depan.

Serangan dimulai pada 1 Maret pukul 06.00 tepat saat sirene tanda akhir jam malam dibunyikan militer Belanda.

Dalam penyerangan itu, Letkol Soeharto dilaporkan memimpin pasukan dari sektor barat dan menyerbu sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk serangan di sektor kota dilakukan oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, seluruh pasukan TNI mundur dari Yogyakarta.

Akan tetapi, Abdul Latief yang ketika itu masih berpangkat kapten dan berada langsung di bawah perintah Soeharto mengatakan, pasukannya dikepung oleh tentara Belanda yang melakukan serangan balasan. Setelah berhasil lolos dari kepungan, Latief sempat bertemu komandannya itu di markas Wehrkreise.

"Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol. Soeharto di Markas, rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya," tulis Latief seperti dilansir dari Hastamitra.

Baca juga: 1 Maret Jadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Ini Sejarah dan Alasannya

Setelah melapor, Latief diperintahkan Soeharto untuk kembali menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di Kuburan Kuncen Yogyakarta, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari markas gerilya tersebut.

Dosen Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Kuncoro Hadi mengatakan, cerita Abdul Latief bisa saja benar bisa juga salah. Sebab menurut Kuncoro, Latief merupakan anak buah Soeharto yang pasca Peristiwa 30 September 1965 disingkirkan, dipenjara, dan mengalami ketidakadilan di bawah rezim Orde Baru.

Kesaksian Latief kemudian diceritakan ulang oleh Soebandrio, Waperdam era demokrasi terpimpin Soekarno, yang juga disingkirkan dan dipenjara masa Orde Baru. Kuncoro menyebut bahwa kesaksian yang diceritakan Latief bisa sangat subjektif jika tidak ada kesaksian pembanding yang kuat.

"Jadi sesungguhnya lemah dan harus hati-hati dilihat sebagai fakta sejarah," katanya ketika dikonfirmasi Kompas.com, Senin (28/2/2022).

Namun, jika kisah tentang soto babat itu benar, Kuncoro berpendapat bahwa narasi tersebut tidak akan mendegradasi sepenuhnya peran dari Soeharto dari peristiwa 1 Maret 1949.

"Bagaimanapun Soeharto tetap punya peran dalam Serangan Umum 1 Maret," ujarnya.

Baca juga: Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949

Menurut Kuncoro, ketika serangan ke Yogyakarta digelar, maka pasukan yang paling dekatlah yang diperintah untuk bergerak.

Markas Wehrkreise III yang dipimpin Soeharto berada di Bantul. Sedangkan rumah Soeharto berada di Kemusuk, Barat kota Yogyakarta, wilayah tersebut masih masuk wilayah Bantul.

Dalam serangan umum itu, Soeharto memang tidak sendirian memimpin pasukan untuk bertempur dengan tentara Belanda, tetapi juga mendapat dukungan dari sejumlah unit-unit lain.

(Penulis Taufieq Renaldi Arfiansyah | Editor Rizal Setyo Nugroho)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com