Dalam penyerangan itu, Letkol Soeharto dilaporkan memimpin pasukan dari sektor barat dan menyerbu sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk serangan di sektor kota dilakukan oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, seluruh pasukan TNI mundur dari Yogyakarta.
Akan tetapi, Abdul Latief yang ketika itu masih berpangkat kapten dan berada langsung di bawah perintah Soeharto mengatakan, pasukannya dikepung oleh tentara Belanda yang melakukan serangan balasan. Setelah berhasil lolos dari kepungan, Latief sempat bertemu komandannya itu di markas Wehrkreise.
"Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol. Soeharto di Markas, rumah yang saya tempati sebagai Markas Gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya," tulis Latief seperti dilansir dari Hastamitra.
Baca juga: 1 Maret Jadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Ini Sejarah dan Alasannya
Setelah melapor, Latief diperintahkan Soeharto untuk kembali menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di Kuburan Kuncen Yogyakarta, yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari markas gerilya tersebut.
Dosen Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta Kuncoro Hadi mengatakan, cerita Abdul Latief bisa saja benar bisa juga salah. Sebab menurut Kuncoro, Latief merupakan anak buah Soeharto yang pasca Peristiwa 30 September 1965 disingkirkan, dipenjara, dan mengalami ketidakadilan di bawah rezim Orde Baru.
Kesaksian Latief kemudian diceritakan ulang oleh Soebandrio, Waperdam era demokrasi terpimpin Soekarno, yang juga disingkirkan dan dipenjara masa Orde Baru. Kuncoro menyebut bahwa kesaksian yang diceritakan Latief bisa sangat subjektif jika tidak ada kesaksian pembanding yang kuat.
"Jadi sesungguhnya lemah dan harus hati-hati dilihat sebagai fakta sejarah," katanya ketika dikonfirmasi Kompas.com, Senin (28/2/2022).
Namun, jika kisah tentang soto babat itu benar, Kuncoro berpendapat bahwa narasi tersebut tidak akan mendegradasi sepenuhnya peran dari Soeharto dari peristiwa 1 Maret 1949.
"Bagaimanapun Soeharto tetap punya peran dalam Serangan Umum 1 Maret," ujarnya.
Baca juga: Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949
Menurut Kuncoro, ketika serangan ke Yogyakarta digelar, maka pasukan yang paling dekatlah yang diperintah untuk bergerak.
Markas Wehrkreise III yang dipimpin Soeharto berada di Bantul. Sedangkan rumah Soeharto berada di Kemusuk, Barat kota Yogyakarta, wilayah tersebut masih masuk wilayah Bantul.
Dalam serangan umum itu, Soeharto memang tidak sendirian memimpin pasukan untuk bertempur dengan tentara Belanda, tetapi juga mendapat dukungan dari sejumlah unit-unit lain.
(Penulis Taufieq Renaldi Arfiansyah | Editor Rizal Setyo Nugroho)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.