KOMPAS.com – Whistle blower atau pelapor tindak pidana memegang peran penting dalam penanganan perkara hukum.
Peran pelapor sangat dibutuhkan dalam pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
Dalam penanganan perkara pidana tertentu, whistle blower bahkan akan mendapatkan perlakuan khusus dari penegak hukum.
Tindak pidana tertentu yang dimaksud seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana terorganisir yang lain.
Baca juga: Penetapan Nurhayati Sebagai Tersangka Dikhawatirkan Bikin Masyarakat Takut Jadi Whistle Blower
Menurut UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang atau telah terjadi.
Dalam UU tersebut, whistle blower atau pelapor berhak mendapat perlakuan khusus, seperti perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang timbul akibat kesaksiannya.
Pelapor pun berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, dirahasiakan identitasnya atau mendapat identitas baru, dan lain-lain.
Selain itu, whistle blower atau pelapor juga akan mendapatkan perlindungan hukum.
Pasal 10 Ayat 1 berbunyi, “Saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.”
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, terdapat syarat untuk menjadi whistle blower.
Syarat tersebut, yakni yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Surat edaran ini juga memberi jaminan, jika whistle blower dilaporkan oleh terlapor, maka penanganan perkara terhadap laporan whistle blower akan didahulukan.
Tuntutan hukum dari laporan terlapor tersebut wajib ditunda hingga kasus yang whistle blower laporkan telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Referensi: