Usai proyek N-2130 gagal, sejumlah produsen pesawat mengikuti langkah Indonesia untuk memproduksi pesawat jarak menengah dan regional ini.
Sebut saja seperti Embraer dari Brasil yang mengembangkan E-170. Seri ini kemudian dilanjutkan dengan stretch version E-190 yang penerbangan perdananya berlangsung pada 2004.
"Embraer coba bikin di awal tahun 2000, Embraer 170 dan 190, itu 80 dan 100 penumpang. Itu sehabis kita. Jadi idenya mungkin dari Pak Habibie, tapi juga lihat market, karena Brasil kan gede juga," sebut Andi.
Kemudian sebelumnya ada juga produsen pesawat Kanada, Bombardier Aerospace yang mengembangkan CRJ-700, stretch version CRJ-200 pada tahun 1997. Seri tersebut kemudian dilanjutkan dengan CRJ-900 dan akhirnya CRJ-1000 yang programnya dimulai pada 2007 dan penerbangan perdana pada 2008.
Program jet C series Bombardier akhirnya diakuisisi oleh Airbus pada tahun 2018 dan dinamai A-220.
Baca juga: Tenaga Ahli PT DI Sebut Pembelian Jet Rafale Tak Bisa Dibandingkan dengan Proyek KFX/IFX
Tak hanya Brasil dan Kanada, Rusia pun ikut mengembangkan pesawat regional jarak menengah tersebut. Adalah Sukhoi Superjet (SSJ) 100 yang memiliki spesifikasi mirip N-2130, dan pertama kali mengudara pada tahun 2011.
Untuk pengembangan SSJ 100, Sukhoi memiliki kerja sama jangka panjang dengan Boieng dan Pemerintah Rusia. SSJ 100 juga menggunakan mesin baru, SaM-146 buatan Rusia hasil kerja sama Rusia dan Perancis.
"Sukhoi Superjet 100, dicoba di market Indonesia buatan Rusia dan Italia. Yang kecelakaan di Gunung Salak. Itu dibuat di tahun 2000-an. Tapi karena buatan Rusia ya diganggu terus sama barat," ujar Andi.
Seperti diketahui, kecelakaan Sukhoi Superjet 100 di Indonesia terjadi pada 9 Mei 2012 saat melakukan penerbangan demonstrasi yang berangkat dari Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Joy flight yang mengangkut 42 tamu undangan dan 8 awak pesawat menabrak Gunung Salak di Kabupaten Bogor. Tak ada korban selamat dari kecelakaan ini.
Baca juga: Kisah PT DI Rumahkan 12.000 Karyawannya di Balik Kesuksesan Pesawat CN235
Terlepas dari hal itu, Andi menyatakan visi Habibie menciptakan kelas pesawat jet berpenumpang 100 orang di awal tahun 1990-an memang sudah tepat.
"Artinya market 100 penumpang saat itu bener kosong. Sayang kita setop. Kalau N-2130 jadi, kita lebih duluan daripada yang lain. Lebih punya marketshare," ucap mantan Direktur Pengembangan Teknologi PT DI tersebut.
Ia juga menyebut prediksi Habibie saat itu terbukti sebab jenis pesawat seperti N-2130 menjadi pesawat yang paling banyak digunakan di Indonesia untuk saat ini.
Lalu mengapa proyek N-2130 tidak diteruskan kembali usai PT DI kembali bangkit?
"Anggaplah PT DI bangkit lagi tahun 2006-2007, dunianya sudah lain. Embraer dan Bombardier sudah ada. PT DI juga sudah bukan lagi perusahaan dengan 15 ribu karyawan, hanya tinggal 3.000-an karyawan pada saat itu," jawab Andi.
Sumber:
Harian Kompas edisi 2 Juli 1996: "Boeing Bantu Pasarkan N-2130"
Harian Kompas edisi 16 Mei 2021: "Dari N-2130 hingga SSJ100"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.