HEBOH. Riuh dan membingungkan. Para politisi di republik ini adalah pakar kegaduhan, kata Virginia Rose van Macassar, yang sehari-hari disapa Gina.
Ada pimpinan partai politik, tiba-tiba melempar agenda penundaan pemilihan presiden, dengan alasan demi perbaikan ekonomi bangsa.
Heran banget saya, Gina. Justru mereka itulah yang bisa ditafsirkan kian memperunyam ekonomi bangsa dengan lontaran-lontaran politik mereka yang sungguh-sungguh membuat gaduh, balas Abraham Lincoln van Parepare (Aam).
Ada apa sebenarnya di benak kedua tokoh kita ini, Aam? kata Gina.
Kok tiada mendung, tiada guntur, tiba-tiba mereka mengguyur republik kita dengan ide yang sangat absurd. Justru lontaran penundaan pilpres itulah yang membuat stagnasi ekonomi karena para pelaku ekonomi dan rakyat, selalu saja berprinsip wait and see, kata Gina lagi dengan wajah geram, seolah tak percaya apa yang dilontarkan pemuncak parpol itu.
Saya bisa memahami kegelisahan dan kegeraman mu, Gina, kata Aam. Masalahnya, kalau
alasan ekonomi, mengapa mereka tidak ngotot menunda pilkada, ya?
Bukankah pemilihan kepala daerah juga memiliki bobot dan potensi yang sama dengan pilpres, yang berkolerasi dengan kondisi ekonomi bangsa?
Mestinya tokoh itu konsisten dong: jangan menunda di atas, tetapi membolehkan di bawah, tegas Aam.
Rumus bakunya jelas, Aam, ujar Gina ke Aam lagi.
Sebagai politisi yang berada dalam pucuk teratas di struktur partai mereka, tentu saja ada keinginan jadi presiden. Bila tidak, Wapres pun jadilah, lanjut Gina lagi.
Saya bisa paham sepenuhnya ambisi seperti itu, Gina. Wajar toh berkeinginan dan punya ambisi politik. Mereka kan memang politisi, kata Aam.
Yang memusingkan saya, adalah, apa kaitannya antara ambisi politik mereka dengan penundaan pilpres. Bukannya dengan melaksanakan pilpres sesuai jadwal, justru mempercepat perwujudan mimpi politik mereka? Bukannya menunda pilpres, berarti menunda keinginan politik? lanjut Aam lagi.
Waduh Aam, kamu itu sangat naif membaca gelagat dan manuver politik. Makanya, kamu harus memperbanyak bacaan dan memperingan langkah untuk bergerak ke kiri dan ke kanan, membangun jejaring silaturahim. Jangan nongkrong terus di warung kopi yang sama. Perlebar dong jejaring silaturahim agar kamu bisa memahami dunia persilatan politik Indonesia, begitu nasihat Gina ke Aam.
Tahu nggak kamu, Aam, menunda pilpres berarti ada peluang untuk memperbaiki hasil jajak pendapat. Ada kesempatan untuk berihtiar mendongkrak nama, orang lain yang bakal didukung. Biar persentase kemungkinan dipilih lebih terangkat.
Biar citra moncreng karena presentase orang yang bakal memilih, hari demi hari kian menukik ke atas. Bukan stagnan dengan angka single digit. Ini soal politik, Aam. Pencitraan itu amat penting, tegas Gina ke Aam lagi.
Lagi pula, dengan melempar isu penundaan agenda pilpres, kan media massa ramai-ramai mengutip dan menampilkan wajah mereka. Ini kan cara paling efektif manggung tanpa bayar
iklan. Kan lumayan, seantero negeri bisa menyaksikan penampangan diri.
Semuanya untuk mendongkrak popularitas.
Terlepas dari itu Aam, kata Gina lagi, melempar agenda penundaan pilpres adalah cara meraih simpatisan Jokowi, yang memang menyebar di mana-mana.
Para pengagum Jokowi tentu saja masih selalu mengharapkan kepemimpinan Jokowi berlanjut, meski Presiden Jokowi sudah berkali banyak mengatakan, ikuti konstitusi.
Alamak, alamak. Sungguh naif aku ini, Gina. Saya tidak sejauh itu melihatnya. Kamu itu memang jagoan karena jeli dan detail dalam membaca tanda-tanda zaman.
Aku semakin mengagumimu, Gina. Aku minta ampun deh atas segala kenaifan saya selama ini. Malu rasanya aku berhadapan denganmu, Gina. Saya lempar handuk tanda menyerah ke kamu, kata Aam ke Gina lagi.
Sudah, sudahlah, Aam. Yang penting, buka mata, buka telinga dan tutup mulut. Jangan banyak berisik dan mengobral opini. Begitu nasihat Gina ke Aam.
Tapi, Gina, lanjut Aam lagi. Bagaimana dengan Mbak Puan Maharani? Kan hasil jajak pendapat tentang dirinya pun masih single digit. Toh ia tidak pernah ingin pemilihan presiden ditunda?
Mestinya kan Mbak Puan juga ikut menari di atas tabuhan gendang usulan untuk menunda pilpres demi ihtiar menaikkan nama di jajak pendapat. Begitu juga yang lain-lain.
Aam, kamu harus banyak membaca peribahasa bangsa kita, “Lain padang, lain ilalang,” kata
Gina.
Ya memang sih, sangat tidak benar menunda pilpres. Masalahnya, lembaga mana di negeri ini, yang secara konstitusional, memiliki kewenangan menunda pilpres?
Kan Konstitusi dan undang-undang kita sudah secara limitatif mengatakan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden adalah lima tahun. Bila diperpanjang dua tahun, entar presiden dan wakil presidennya tidak punya legitimasi yuridis sehingga semua produk kebijakannya kelak, inkonstitusional.
Nah, gimana ini, kata Aam penuh semangat. Apa mau melakukan amandemen konstitusi untuk sekadar memperpanjang masa jabatan presiden/wakil presiden? Terlampau besar biaya sosial-politik yang harus dibayar bangsa ini hanya untuk itu.
Kita kan tidak berada dalam situasi krisis yang melantakkan seluruh sendi kehidupan bangsa. Tidaklah ya, lanjut Aam lagi.
Makanya, jangan keburu nafsu melontarkan keinginan dan mendeklarasikan kehendak pribadi tapi memperatasnamakan kepentingan bangsa. Mahal banget lho ongkosnya itu, ujar Gina lagi.
Sudah lebih dua dekade kita reformasi, mestinya kita berjuang untuk menjaga agar seluruh sistem dan tatanan sosial-politik kita itu dijaga. Biar tidak oleng ke mana-mana.
Bukannya bergaduh-ria atas nama kepentingan bangsa, tetapi justru merambah jalan agar kita menerobos terus sistem dan tatanan yang sudah mulai berjalan dan mapan, lanjut Gina
lagi.
Yang penting, Aam, mulai sekarang kamu itu jangan terlampau lugu menerima apa saja dari omongan para pemuncak negeri.
Harus kritis. Ini Namanya bersikap dan berbuat demi kepentingan bangsa, tegas Gina sembari penyampirkan lengannya ke pundak Aam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.