JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 2 Tahun 2021 cacat secara substansi dan prosedur.
Karena itu, Usman berharap majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP) terhadap sejumlah pasal dalam undang-undang tersebut.
"UU Otsus yang baru secara substansial dan material cacat, secara prosedural dan formal juga cacat. Karena itu kita berharap MK mau memperbaiki undang-undang ini dengan menyatakan sejumlah pasal yang telah diubah inkonstitusional dan tidak berlaku," kata Usman dalam konferensi pers secara daring, Rabu (23/2/2022).
Baca juga: Wakil Ketua MRP: Revisi UU Otsus Papua Melukai Hati Rakyat Papua
Menurut Usman, UU Otsus Papua hasil revisi itu berdampak pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya orang asli Papua (OAP).
Secara substansial, Usman menyebutkan, UU Otsus Papua Nomor 2/2021 menghapus hak orang Papua membentuk partai politik yang sebelumnya tertuang dalam Pasal 28 Ayat (2) UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001.
Selain itu, ada pembentukan badan khusus yang dipimpin wakil presiden yang diatur dalam Pasal 68A ayat (2).
"Kalau kita sungguh-sungguh mau menerapkan otonomi, maka tidak perlu ada badan di tingkat pusat yang mengendalikan Papua. Biarkan orang Papua mengelola dan menata sendiri pemerintahannya," tegasnya.
Baca juga: MRP Sebut Pelaksanaan Otsus di Papua Tidak Beri Perubahan
Kemudian, ada perubahan Pasal 76 tentang pemekaran daerah. Dalam UU Otsus Papua Nomor 2/2021, pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan dapat dilakukan pemerintah pusat dan DPR.
"Pemekaran wilayah di tingkat kabupaten/kota merupakan usulan Pemerintah Provinsi Papua dan didukung DPRP. Tapi pemekaran tingkat provinsi tidak pernah jadi usulan mereka, dan tampaknya ini merupakan keputusan sepihak Jakarta yang dipersoalan di MK," tutur Usman.
Sementara itu, secara prosedural, menurut Usman, revisi UU Otsus Papua dilakukan secara terburu-buru. Pembahasan perubahan UU selesai hanya dalam waktu enam bulan.
Selain itu, revisi juga dilakukan tanpa partisipasi yang bermakna dengan rakyat Papua atau dengan MRP.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) diuji secara materiil ke MK.
Baca juga: Wakil Ketua I MRP: Isu Pemekaran di Papua Berpotensi Timbulkan Konflik Horizontal
Dalam sidang perdana yang digelar pada Rabu (22/9/2021) secara daring, para Pemohon mendalilkan norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).
Dikutip dari website mkri.id, para pemohon adalah Majelis Rakyat Papua (MRP) yang diwakili oleh Timotius Murib (Ketua), Yoel Luiz Mulait (Wakil Ketua I), dan Debora Mote (Wakil Ketua II) tercatat sebagai Pemohon Nomor 47/PUU-XIX/2021.
Para Pemohon merupakan representasi kultural OAP dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama yang memiliki kepentingan langsung atas lahirnya UU a quo.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.