JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mendapatkan sejumlah tanggapan dari kalangan pekerja migran dan lembaga advokasi para tenaga kerja Indonesia.
Mereka rata-rata keberatan dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan kepesertaan BPJS Kesehatan bagi para TKI ketika bekerja di luar negeri.
Pada poin 26 Inpres Nomor 1 Tahun 2022 berbunyi, "Mewajibkan Pekerja Migran Indonesia yang bekerja di luar negeri kurang dari 6 (enam) bulan untuk menjadi Peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional selama berada di luar negeri."
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengkritik aturan kewajiban bagi pekerja migran untuk mengikuti dan membayar iuran BPJS Kesehatan selama mereka bekerja di luar negeri.
Baca juga: BPJS Kesehatan: Pemerintah Ingin Memastikan Masyarakat Punya Jaminan Kesehatan
"Ini artinya hanya ngejar setoran target kepesertaan, tapi abai pada pelayanan dan jangkauan," kata Wahyu Susilo kepada Kompas.com, Senin (21/2/2022).
Wahyu mengatakan, manfaat perlindungan BPJS Kesehatan bagi pekerja migran Indonesia sangat terbatas. Dia mengatakan, seharusnya pemerintah terlebih dulu membuktikan manfaat BPJS Kesehatan bagi pekerja migran sebelum mewajibkan kepesertaan.
"Jadi harus membuktikan kemanfaatannya dulu agar bisa menjaring kepesertaan," ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, saat ini manfaat perlindungan dari BPJS Kesehatan tidak bisa digunakan oleh pekerja migran Indonesia saat mereka bekerja di luar negeri.
"Cakupannya lebih banyak pada masa pra-penempatan dan pasca-penempatan. Padahal, kerentanan juga terjadi pada masa penempatan. Misalnya biaya perawatan seandainya mengalami sakit atau kecelakaan tidak bisa di-reimburse," sambung Wahyu.
Baca juga: Ini 6 Alasan Pentingnya Memiliki BPJS Kesehatan
Wahyu mengatakan, syarat pada Poin 26 Inpres Nomor 1 Tahun 2022 semestinya baru bisa berlaku kalau jangkauan perlindungan BPJS Kesehatan bagi pekerja migran Indonesia sudah dinilai cukup.
"Seharusnya syarat poin 26 baru bisa diberlakukan kalau cakupan dan jangkauan perlindungan BPJS Kesehatan bagi pekerja migran sudah memadai. Sampai saat ini malah sangat terbatas," ucap Wahyu.
Menurut aktivis TKI di Hong Kong Eni Lestari, saat ini tidak ada manfaat yang bisa didapat dari kepesertaan BPJS Kesehatan bagi para pekerja migran Indonesia.
Eni mengatakan, dengan sistem yang diterapkan saat ini, manfaat BPJS Kesehatan hanya bisa didapat bagi pekerja migran yang kembali ke Tanah Air. Sedangkan ketika mereka tengah bekerja di luar negeri, manfaat perlindungan itu tidak bisa dirasakan.
"Jelas kalau sistemnya BPJS begitu hanya bisa diakses di indonesia dan kita hanya membayar, itu hanya menjadi program menarik uang dari kami, tapi sebenarnya tidak punya manfaat dan faedah untuk kami," ujar Eni kepada Kompas.com.
Baca juga: BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual Beli Tanah Dinilai Memberatkan Warga di Pelosok
Dengan sistem penerapan BPJS Kesehatan saat ini, lanjut Eni, pelayanan itu hanya bisa didapatkan ketika pekerja migran Indonesia pulang atau sebelum berangkat.
"Jadi hanya segelintir orang yang kira-kira mendapatkan. Misalnya mereka yang dipulangkan dalam posisi tidak diobati oleh majikan atau mereka yang dalam kondisi mati atau meninggal di luar negeri," ujar Eni.
Menurut Eni, hal lain yang tidak memberi manfaat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi pekerja migran adalah soal tidak ada fasilitas kesehatan yang menjadi mitra untuk memberikan layanan itu di luar negeri.
"Walaupun kita dipaksa untuk punya BPJS Kesehatan selama enam bulan di sini atau berapa lama pun, itu tidak akan punya manfaat karena BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan tidak punya partner di luar negeri, tidak punya klinik-klinik yang bisa direkmomendasikan ke kami untuk berobat," ucap Eni.
Baca juga: Aktivis TKI Kritik Kewajiban BPJS Kesehatan: Tak Bermanfaat untuk Kami
"Jadi ini bukan masalah kami mau atau tidak mau. Kami menolak aturan seperti ini. Kami menunggu sosialisasi dari pemerintah nanti ataupun kami akan menyikapi jika pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan BPJS Kesehatan ini," sambung Eni.
Secara terpisah, Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, kepesertaan masyarakat dalam BPJS Kesehatan bisa memastikan mereka tidak akan mengalami keterlambatan dalam mendapatkan penanganan kesehatan.
Menurut Ali, sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui bahwa kepesertaan BPJS adalah wajib, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Ia menjelaskan, pelayanan kesehatan di Indonesia sudah berjalan dengan baik. Namun, diperlukan upaya lebih agar seluruh masyarakat memikirkan kesehatannya. Sebab, menurut Ali, tak ada yang bisa menentukan kapan seseorang akan sakit.
"Makanya, sekarang Instruksi Presiden itu dengan berbagai kerja sama kementerian dioptimalkan sehingga seluruh orang Indonesia pada tahun 2024 diharapkan sudah menjadi peserta BPJS paling tidak coverage akan tercapai," lanjut Ali.
Hingga saat ini, kepesertaan BPJS Kesehatan di Indonesia mencapai 235 juta orang. Ia berharap jumlah itu menjadi minimal 98 persen pada 2024.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.