JAKARTA, KOMPAS.com - Baru-baru ini persoalan pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang baru bisa dilakukan pada usia 56 tahun memicu perdebatan di kalangan pekerja dan masyarakat luas.
Persoalan dimulai ketika Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Dalam pasal 3 Permenaker itu salah satunya mengatur perihal pencairan JHT baru dapat dilakukan saat usia 56 tahun.
"Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun," demikian bunyi aturan itu.
Baca juga: Istana Sebut Jokowi Dengar Keberatan Para Pekerja, Permenaker soal Pencairan JHT Akan Direvisi
Menaker Ida meneken Permenaker itu pada 2 Februari 2022 dan diundangkan pada 4 Februari 2022.
Aturan tersebut mencabut Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Manfaat JHT.
Menurut pejabat sementara Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BP Jamsostek Dian Agung Senoaji, keputusan Ida sudah sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2004.
Terkait mekanisme pencairannya, peserta memang masih bisa melakukan pencairan sebagian saldo JHT sebesar 30 persen.
Baca juga: Kamis Besok, KSPSI Gugat Permenaker Soal Klaim JHT Usia 56 Tahun ke PTUN
Hal ini untuk keperluan kepemilikan rumah atau 10 persen untuk keperluan lain dengan ketentuan minimal kepesertaan 10 tahun.
Namun, untuk pencairan saldo JHT secara penuh, hanya dapat dilakukan saat peserta mencapai usia 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Dikritik buruh
Lewat permenaker yang baru, pemerintah berpendapat, kebijakan pencairan JHT itu sesuai dengan tujuannya yakni sebagai simpanan untuk dimanfaatkan para pekerja di masa pensiun.
Sedangkan kelompok serikat buruh menolak kebijakan itu karena iuran yang telah dibayarkan merupakan hak para pekerja.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 lantas dikritik para serikat pekerja atau buruh.
Aktivis buruh Mirah Sumirat mengatakan, Permenaker itu adalah peraturan yang sadis dan sangat merugikan buruh atau kaum pekerja.
"Permenaker ini bikin gaduh. Isinya sadis dan sangat kejam. Tidak ada alasan Kemenaker atau BPJS Ketenagakerjaan menahan uang para buruh," ujar Mirah saat dihubungi Kompas.com, 13 Februari lalu.
Baca juga: Bertemu Menaker, Serikat Buruh Tuntut 3 Hal Ini soal JHT Cair Usia 56 Tahun
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) ini menilai, negara tidak punya kepentingan untuk menahan JHT yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun.
Ia mengingatkan bahwa JHT merupakan iuran bersama pekerja dan pemberi kerja yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
ASPEK juga menolak keras terbitnya Permenaker itu dan menilai pemerintah tidak peka terhadap perekonomian para tenaga kerja, terkhusus di tengah pandemi.