I. Lepas Baju
Ketika the founding fathers "akhirnya" bersepakat membidani kelahiran Republik Indonesia, dengan besar hati mereka melepas baju primordial.
Kenapa akhirnya? Karena awalnya memang tidak mudah bagi mereka untuk sampai pada satu permufakatan.
Anda bisa membayangkan, ratusan tahun didera perbedaan yang akut! Bagi kekuatan imperialis, bangsa Nusantara yang bersatu, adalah kabar buruk!
Maka; politik pecah belah, adu domba, devide et impera, jadi modus utama penjajah sehingga mereka bisa bertahan lebih lama di Indonesia.
Sejarah mencatat, betapa sering satu kerajaan mudah diadu-domba dengan kerajaan lain di Nusantara.
Tak kurang pula kita membaca keterangan; pribumi diperalat untuk memusuhi sesama pribumi.
Ciptakan situasi saling curiga. Angkat yang satu, injak bagian lainnya seperti membelah bambu. Jauhkan mereka dari kata "persatuan." Itu kunci !
Problem inilah yang selama ratusan tahun, sering jadi kerikil dalam sepatu setiap kali bangsa Indonesia butuh "satu kata" yang sama untuk menyepakati suatu konsensus.
Pada sisi lain, kamajemukan yang menyertai tahapan perjuangan menuju Indonesia merdeka, telah disadari sebagai kekayaan.
Maka, baju primordial digunakan hanya untuk konteks tertentu, terbatas, internal, dalam rangka penguatan unsur-unsur pendirian republik.
II. Keniscayaan
Untuk kepentingan persatuan dan kebulatan tekad, spirit keagamaan diakui sebagai faktor penting dalam menyatukan umat.
Bagi para pendiri bangsa, anasir-anasir primordial adalah keniscayaan yang tidak bisa dihilangkan dari jati diri bangsa yang majemuk.
Anasir ini bisa menjadi kata kunci jika dibiarkan tetap ada dan keberadaannya tidak dipersoalkan.
Indonesia adalah himpunan dari semua perbedaan yang tumbuh di seluruh Tanah Air.
Dari sejumlah faktor determinan ke jalan terciptanya persatuan adalah bahwa; Islam dipandang sebagai unsur paling besar daya picunya bagi ikhtiar melepaskan diri dari belenggu penjajah.
Islam dianut oleh mayoritas penduduk pribumi. Islam yang satu, umat yang kuat, tuntunan agama yang dijalankan dengan penuh istiqamah dan kepatuhan, akan mempercepat proses akselarasi menuju cita-cita Indonesia Merdeka.
Faktor inilah, antara lain, yang memaksa Snouck Hurgronje bertualang ke Saudi Arabia, belajar banyak, agar dapat menemukan cara memukul Islam Indonesia dari jantungnya; Mekkah.
Walaupun akhirnya diketahui, ia terbukti tidak tepat dalam menafsir fenomena Islam yang berkembang di Nusantara.
Ia gagal. Corak nusantara yang dijadikan inspirasi oleh semua kekuatan Islam, terbukti sukses melahirkan Indonesia yang Daarus Salaam dan bukan Daarul Islaam.
Setelah lelah dijajah. Setelah sadar hanya diperalat. Setelah tahu Islam mengajarkan bahwa banyak jalan menuju keselamatan-- subulus-salaam, umat akhirnya menyadari pentingnya meletakkan Islam sebagai inspirasi.