Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teori Konspirasi Chemtrail dan Penggunaan Senjata Kimia dalam Perang

Kompas.com - 18/02/2022, 17:59 WIB
Elza Astari Retaduari

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Teori konspirasi chemical trail (chemtrail) yang kian marak belakangan ini membuat berbagai isu hoax bermunculan. Isu chemtrail dikaitkan dengan condensation trail (contrail) yang merupakan fenomena "asap" pesawat.

Contrail sendiri merupakan jejak kondensasi pesawat terbang yang tercipta karena pengembunan udara dari asap pesawat yang mengandung keluaran sampingan berupa uap air.

Kondensasi terjadi akibat suhu udara atmosfer yang dingin sehingga terbentuk jejak di belakang pesawat. Biasanya contrail berbentuk seperti asap yang memanjang di langit.

Penganut teori konspirasi lantas menghubungkan jejak tersebut dengan chemtrail yang dianggap dilakukan pihak tertentu untuk menyebar senjata kimia atau senjata biologis seperti virus atau penyakit dari udara.

Ada juga yang menyebut chemtrail dilakukan untuk mengurangi penduduk bumi hingga untuk mengendalikan pikiran orang. Namun teori ini banyak dibantah oleh para peneliti.

Baca juga: Fenomena Asap Pesawat yang Kerap Dihubungkan dengan Teori Konspirasi Senjata Biologis Chemtrail

Beberapa hoax soal chemtrail yang muncul di Indonesia seperti isu varian Omicron Covid-19 disebar lewat udara, penyebaran penyakit di beberapa daerah tahun 2021, hingga kematian ribuan burung Pipit.

Terlepas dari teori chemtrail yang belum bisa dibuktikan itu, penggunaan senjata kimia sebenarnya sering dilakukan di masa perang.

Dikutip dari Harian Kompas pada 29 Maret 1984, Jumat (18/2/2022), dunia sempat dikejutkan dengan penggunaan senjata kimia dalam perang Iran-Irak.

Di awal tahun 1980-an, Amerika Serikat pernah menuduh Uni Soviet memakai gas beracun, hujan kuning, dan asap Blue-X dalam menumpas gerilya Muhajidin Afghanistan.

Pada perang Teluk Persi ini, penggunaan senjata kimia berupa mustrad gas dan mycotoxin disebut berhasil menewaskan dan membuat cacat tak kurang dari 1.700 tentara Iran.

Uni Soviet saat itu juga dituduh memasok gas-gas kimia beracun seperti mycotoxin ke negara-negara Komunis yaitu Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk menggempur suku H'mong dan tentara Khmer Merah.

Baca juga: BMKG Tegaskan Tak Ada Bukti Chemtrail di Indonesia

Tuduhan ini dikenal dengan istilah Yellow Rain atau Hujan Kuning. Sebab dalam perang kontra-pemberontakan sekutu Soviet, pengungsi menggambarkan berbagai bentuk serangan, termasuk cairan kuning lengket yang jatuh dari pesawat atau helikopter.

AS menuduh Yello Rain menyebabkan 10.000 orang tewas dalam dugaan penggunaan senjata kimia tersebut. Namun Soviet membantahnya.

Di sisi lain, pihak Amerika Serikat mengakui menggunakan herbisida atau agen oranye dalam perang Vietnam. AS berdalih, penggunaan senjata kimia itu dilakukan untuk melumpuhkan sumber makanan lawan.

Menurut penelitian, penggunaan 44 juta liter herbisida yang disemprotkan di Vietnam selama perang dapat menciptakan kelahiran bayi cacat.

Bukan hanya itu saja, senjata kimia pun disebut berjasa dalam menyukseskan berbagai peperangan lainnya. Tentunya ini termasuk dengan gas beracun hingga senjata kuman.

Sebut saja seperti serbuan Mussolini ke Etiopia saat perang singkat antara Kerajaan Italia dan Kekaisaran Etiopia tahun 1935.

Senjata kimia juga digunakan saat intervensi ke Yaman, invasi Jepang ke Cina, perang Korea, dan tentunya perang dunia I dan II.

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) melaporkan, rezim rasialis Afrika Selatan sejak tahun 1978 menggunakan gas pelumpuh urat syaraf, napalm (zat kimia berbentuk pasta yang terbakar begitu pecah di darat), defoliant, herbisida, bom fosfor, serta peluru kimia toksis untuk melumpuhkan lawan-lawannya.

PBB sempat mengusut penggunaan senjata kimia dan biologis dalam perang Iran-Irak dan perang di Laos dan Kamboja. Hanya saja, hasilnya tidak terlalu memuaskan.

Protokol Geneva larang senjata kimia

Penggunaan senjata kimia sebenarnya sudah menjadi sorotan sejak lama. Bahkan pada tahun 1925, disepakatilah pelarangan penggunaan gas pencekik, gas beracun, dan zat-zat kimia lain dalam perang lewat Protokol Geneva.

Protokol Geneva 1925 melarang penggunaan segala bentuk cara perang kimia dan perang biologi, dan termasuk dalam Konvensi Geneva atau Konvensi Jenewa yang merupakan penetapan standar hukum internasional mengenai perlakuan kemanusiaan bagi korban perang.

Ada beberapa momen yang mengilhami Protokol Geneva 1925. Mulai dari Konvensi Den Haag 1907 (konferensi perdamaian perang), perjanjian Versailles (perjanjian damai yang mengakhiri Perang Dunia I antara Sekutu dan Kekaisaran Jerman), dan konferensi pelucutan senjata di Washington.

Baca juga: Ramai Teori Senjata Biologis Chemtrail, Apakah Jejak Asap Pesawat Berbahaya?

Uni Soviet dan AS ikut menandatangani persetujuan Protokol Geneva di tahun 1928, namun baru meratifikasinya 49 tahun kemudian.

AS berkomitmen senjata kimia tidak akan digunakan kecuali jika musuh menggunakannya lebih dulu. Sementara Uni Soviet saat itu tak mau mengikatkan diri dengan Protokol Geneva selama musuh menggunakan senjata kimia.

Di luar AS dan Uni Soviet, Perancis jauh sebelumnya secara tegas menyatakan tetap mempunyai hak menggunakan senjata kimia sepanjang untuk membalas musuh.

Karena banyaknya penafsiran itu, maka kemudian negara-negara dunia menyederhanakannya menjadi no-first-use policy. Atau dengan kata lain, kebijakan yang berisi komitmen untuk tidak menggunakan senjata kimia kecuali jika diserang terlebih dahulu oleh musuh.

Namun dalam perkembangannya, prinsip no-first-use dibuat kabur dengan banyaknya pelanggaran penggunaan senjata kimia dalam berbagai perang.

Kebijakan larangan senjata biologis

Menyusul Protokol Geneva yang melarang penggunaan senjata kimia, Komite Pelucutan Senjata PBB tahun 1972 menyepakati pelaranganan senjata biologis.

Konvensi senjata biologis secara tegas melarang pengembangan, produksi, penimbunan, dan transfer senjata kuman serta toksin.

Setelah Konvensi Senjata Biologis 1972, banyak negara yang meneken perjanjian tersebut secara konsisten memusnahkan senjata biologis, termasuk Indonesia.

Baca juga: Ramai soal Garis Putih di Langit, Ini Beda Chemtrail dengan Contrails

Di tahun 1979, Indonesia memerintahkan penghancuran total semua senjata kimia warisan pemerintah Hindia Belanda. Inggris dan Amerika Serikat juga melakukan hal serupa.

Meski begitu, ada beberapa negara yang enggan menaati isi perjanjian sekalipun menandatangani kesepakatan tersebut. Salah satunya adalah Uni Soviet.

Bahkan saat itu, Soviet diketahui secara diam-diam melakukan riset senjata kuman dan senjata toksin.

Dugaan itu menyusul adanya ledakan tahun 1979 di laboratorium militer dekat Sverdlovsk (Rusia) di mana bibit-bibit Anthrax menewaskan sekitar 1.000 orang.

Sedangkan mycotoxin disebut dikembangkan sejak 1930-an dan berhasil diujicoba saat perang di Laos.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Guru Besar UI: Ironis jika PDI-P Gabung ke Kubu Prabowo Usai Putusan MK

Nasional
Tak Anggap Prabowo Musuh, Anies Siap Diskusi Bareng

Tak Anggap Prabowo Musuh, Anies Siap Diskusi Bareng

Nasional
Bersama Pertamax Turbo, Sean Gelael Juarai FIA WEC 2024

Bersama Pertamax Turbo, Sean Gelael Juarai FIA WEC 2024

Nasional
Tanggapi Putusan MK, KSP: Bansos Jokowi Tidak Memengaruhi Pemilih Memilih 02

Tanggapi Putusan MK, KSP: Bansos Jokowi Tidak Memengaruhi Pemilih Memilih 02

Nasional
Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Peringati Hari Buku Sedunia, Fahira Idris: Ketersediaan Buku Harus Jadi Prioritas Nasional

Nasional
KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

Nasional
Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Nasional
Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Nasional
Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Nasional
Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Nasional
Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Nasional
Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Nasional
Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Nasional
KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com