Menyikapi kondisi tersebut, sudah banyak peraturan maupun panduan teknis yang dibuat untuk mengatur tata laksana dan tata kelola media sosial bagi institusi pemerintah.
Namun tetap saja sejumlah kekeliruan dan kesalahan kerap terjadi, baik dalam bentuk unggahan maupun respons.
Jika tidak hati-hati, alih-alih meningkatkan keterlibatan (engagement) publik, maka yang terjadi justru menjadi ‘bumerang’ atau kontraproduktif dengan usaha komunikasi yang diharapkan.
Atas dasar itu dalam perkembangannya diperlukan seni, sistem dan infrastruktur komunikasi yang memadai dalam mengelola konten atau isi akun media sosial.
Media sosial membuat komunikasi institusi pemerintah dengan publik terjadi secara langsung dalam menjalin hubungan dan menangani keluhan dengan kecepatan yang tidak terjadi sebelumnya.
Terlebih dengan wabah COVID-19 semakin mempercepat kebutuhan interaksi dan saluran komunikasi yang efektif di masa krisis, di mana media sosial berfungsi sebagai platform utama saat menyampaikan pesan secara langsung dan cepat.
Ada banyak manfaat utama yang dapat dicapai oleh media sosial di pemerintahan, termasuk peran sosial dalam membangun kesadaran dan selama masa krisis (Hootsuite, Tony Tran, Yael Bar-Tur).
Dengan perubahan zaman, perlu ada keseimbangan antara media tradisional dan komunikasi digital.
Saluran media sosial institusi pemerintah tidak boleh diabaikan, terutama sebagai alat untuk membangun kepercayaan. Tanpa kepercayaan publik, pesan dipastikan tidak akan pernah didengar.
Bertot et al. (2010) melihat bahwa media sosial menawarkan kepada pemerintah potensi untuk meningkatkan partisipasi demokrasi dengan mendorong publik untuk memiliki suara dalam pembuatan kebijakan, bekerja dengan publik untuk meningkatkan layanan, mengumpulkan ide, dan meningkatkan transparansi.
Pemerintah di berbagai tingkatan mencari sarana komunikasi yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih bisa memfasilitasi partisipasi maupun kolaborasi dengan masyarakat dalam berbagai kegiatan pemerintah.
Akibatnya, semakin banyak institusi pemerintah yang mulai menggunakan media sosial sebagai bagian dari saluran interaksi mereka dengan masyarakat (Nepal, Paris, and Georgeakopoulos 2015).
Sejatinya media sosial bagi institusi Pemerintah dapat digunakan untuk beberapa fungsi utama, di antaranya menyampaikan informasi kepada publik (to inform).
Secara natural media sosial membangun interaksi langsung antara publik dengan institusi pemerintah.
Situasi ini jika dikelola dengan baik dapat menciptakan ruang berbagi informasi yang positif mengenai sejumlah kebijakan maupun isu yang berkembang.
Memberikan pendidikan (to educate). Media sosial harus diperlakukan sebagai peluang, bukan ancaman bagi pemerintah untuk terlibat secara efektif dengan warganya dan membantu kemajuan masyarakat.
Salah satu keunggulan akun media sosial pemerintah adalah memiliki akses ke sejumlah besar informasi seperti data yang akurat, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian, publik dapat langsung mengenali sebagai akun yang kredibel dan dapat dipercaya.
Membangun interaksi (Interaction). Memungkinkan keterlibatan publik, menyediakan alat yang berguna membangun kepercayaan dan memberikan wawasan tentang sentimen publik dalam upaya menginformasikan keputusan pemerintah dalam kebijakan publik.
Di sektor swasta banyak bisnis dan perusahaan besar menggunakan media sosial sebagai cara efektif untuk menyelesaikan masalah secara real-time, memantau sentimen, mengelola reputasi merek, dan meningkatkan loyalitas.
Kebutuhan serupa tentu bagi pemerintah untuk berani dan merangkul media sosial seperti yang dilakukan pada entitas bisnis.
Misalnya segera menanggapi keluhan atau mencari pendapat publik, kemudian memberi kesempatan publik untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi kerusakan akibat sebuah kebijakan.