KOMPAS.com - Hukum dasar yang tidak tertulis yang diakui juga dalam praktik ketatanegaraan Indonesia adalah konvensi.
Meski tidak tertera dalam aturan tertulis manapun, namun, konvensi dalam praktiknya dinilai sama pentingnya dengan aturan tertulis, seperti undang-undang.
Menurut Bagir Manan, konvensi adalah hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
Konvensi digunakan untuk memberi panduan saat aturan tertulis tidak memadai atau tidak jelas. Konvensi dapat menjadi menjadi pelengkap atau mengisi kekosongan hukum formil yang baku.
Konvensi sendiri merupakan hal yang lumrah karena ada dalam hampir semua sistem undang-undang dasar, terutama pada negara demokrasi. Konvensi-konvensi ini memungkinkan UUD untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Adanya konvesi itu pun diperlukan untuk melengkapi rangka dasar hukum UUD. Hal ini dikarenakan UUD yang benar-benar hidup di masyarakat tidak hanya berasal dari aturan tertulis saja, namun juga aturan tidak tertulis atau konvensi.
Baca juga: Ratifikasi Konvensi Anti-penghilangan Paksa di Era Jokowi, Akankah Terwujud?
Dalam praktek penyelenggaraan negara di Indonesia, terdapat beberapa konvensi ketatanegaraan yang sudah dilakukan. Berikut contoh konvensi di Indonesia:
Hal ini pada dasarnya bertentangan dengan Pasal 2 Ayat 3 UUD 1945 yang menyebut “Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbayak.” Namun, pada praktiknya, keputusan diambil dengan musyawarah mufakat, bukan dengan mekanisme voting.
Tradisi kenegaraan ini pada dasarnya tidak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia, yakni Presidensial. Dalam sistem pemerintahan ini, Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat, bukan terhadap parlemen.
Sidang tahunan ini secara konstitusional tidak terdapat dalam UUD 1945, namun tetap dilakukan sejak zaman Orde Baru.
Tradisi ini akhirnya diformalkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
Dalam UU tersebut, Presiden melakukan dua kali pidato pada tanggal 16 Agustus, yakni Pidato Kenegaraan menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekan Indonesia dalam Sidang Bersama DPR-DPD dan Pidato Penyampaian Rancangan Undang-undang (RUU) APBN di Sidang Paripurna DPR.
Secara konstitusional, presiden memiliki hak mutlak dalam mengangkat menteri dan pejabat lain setingkat menteri. Namun, dalam praktiknya, presiden kerap melibatkan tim ahli, atau lembagai lain, seperti KPK dan PPATK, dalam melakukan seleksi menteri dan pejabat setingkat.
Referensi: