Oleh: Dr. NURDIN, S.Sos, M.Si
SEBAGAI negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan wilayah yang melimpah.
Hal itu, misalnya, dapat dilihat dari banyaknya pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Jumlah pulau yang dimiliki tersebut meliputi lebih dari 17.000 pulau, sekitar 7.000 di antaranya pulau berpenghuni.
Masing-masing pulau tersebut terdiri dari pulau utama seperti Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Papua.
Sedangkan pulau kecilnya, beberapa di antaranya, yakni Pulau Bali, Karimunjawa, Gili, Lombok dan sebagainya.
Berbagai keragaman wilayah tersebut memerlukan pengelolaan wilayah perbatasan secara komprehensif dan optimal, karena perbatasan wilayah negara merupakan representasi paling utama dari sebuah negara, atau dalam kaitan ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam Buku Data dan Informasi Perkembangan Daerah Tertentu, Daerah Perbatasan, yang dipublikasikan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Tahun 2015, dijelaskan bahwa daerah perbatasan di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni perbatasan kontinen dan maritim.
Pada perbatasan kontinen, Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini, dan Republik Demokratik Timor Leste.
Sedangkan, secara maritim, Indonesia berbatasan langsung dengan sepuluh negara, yakni India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Republik Demokratik Timor Leste, serta Papua Nugini.
Banyaknya kawasan perbatasan tersebut tentunya menjadi tantangan tersendiri. Hal itu, utamanya menyangkut pemenuhan layanan sosial dasar bagi masyarakat di kawasan perbatasan.
Diketahui, pemerataan layanan dasar masih menjadi pekerjaan rumah yang harus terus dibenahi.
Kennedy, P. S. J. dkk. (2019) mengungkapkan, beberapa persoalan yang masih mengintai masyarakat di wilayah perbatasan, yakni terisolasinya wilayah perbatasan, kerentanan pertahanan dan keamanan di perbatasan.
Kemudian belum optimalnya pengelolaan sumber daya alam, hingga rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM).
Kennedy dkk., menemukan sejumlah hambatan tersebut berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap kawasan perbatasan di Provinsi Maluku.
Berdasarkan tantangan tersebut, Kennedy dkk. menekankan perlunya dilakukan upaya pembangunan yang optimal.
Terutama, yang mengutamakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), pendekatan lingkungan (environmental sustainability approach), serta pendekatan keamanan (security approach).
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal menjelaskan, setidaknya ada enam urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar.
Hal itu antara lain, pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, serta sosial.
Keenam urusan tersebut di atas menjadi penting untuk dapat dipenuhi pemerintah, mengingat kesemuanya merupakan urusan yang esensial.
Pada kawasan perbatasan, mengelola keenam urusan dasar tersebut menjadi tantangan yang besar.
Ini karena pada kawasan tersebut, permasalahan-permasalahan utama masih juga terus terjadi.
Terlebih lagi, tantangan ini kemudian berpadu dengan kompleksitas permasalahan lain, seperti tantangan pemerataan infrastruktur, akses kehidupan yang layak, serta pengembangan manusia (human development).
Dalam kaitan ini, pengukuran dengan Indeks Pemenuhan Layanan Dasar Sosial Kawasan Perbatasan bisa menjadi jawaban atas persoalan tersebut.
Ditambah, ikhtiar ini juga menjadi penting dan relevan untuk diterapkan. Alasannya, melalui metode pengukuran yang dilakukan secara komprehensif, akan menghasilkan data yang memadai mengenai situasi sebenarnya di wilayah perbatasan.
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) kini tengah dalam proses penyusunan peraturan mengenai Indeks Pemenuhan Layanan Sosial Dasar Kawasan Perbatasan.
Indeks ini, akan berfokus dalam mengukur dan menilai kondisi yang terjadi di wilayah perbatasan.
Pada konteks ini, Lokasi Prioritas (Lokpri) yang merupakan kecamatan berada di wilayah perbatasan, akan menjadi perhatian utama.
Maksudnya, pada tiap-tiap Lokpri tersebut, nantinya akan dinilai dan diukur mengenai sejauh mana layanan sosial dasar telah diterapkan dengan baik.
Melalui data yang dihasilkan melalui Indeks yang sama, akan diperoleh pijakan yang bermanfaat bagi pemerintah dalam memberikan stimulus bagi daerah-daerah di wilayah perbatasan, atau dalam konteks ini Lokpri di daerah.
Lebih khusus, tujuan spesifik dari hadirnya indeks ini, yakni mengukur pemenuhan layanan sosial dasar bagi masyarakat di kecamatan di kawasan perbatasan.
Kemudian, menetapkan status pemenuhan layanan sosial dasar bagi masyarakat di kecamatan perbatasan, serta menyediakan basis data dan informasi dasar yang diperlukan dalam pembangunan Lokpri.
Dengan demikian, pemerintah nantinya dapat melakukan penanganan yang optimal dan terukur pada wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia.
Di sisi lain, sejatinya penerapan indeks ini adalah sebagai upaya memenuhi prinsip keadilan bagi masyarakat di wilayah perbatasan.
Adil yang dimaksud, yakni memberikan intervensi kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan nyata di dalam masyarakat.
Seperti kita ketahui, situasi antarwilayah perbatasan di Indonesia memiliki tantangan masing-masing yang unik.
Tidak semua daerah menghadapi persoalan yang sama dan seragam. Karenanya, pengukuran dengan indeks tersebut menjadi dibutuhkan guna menghasilkan data yang akurat, kredibel, dan objektif.
Apabila dalam pengukuran tersebut daerah memiliki nilai yang tinggi, maka pemerintah dapat melakukan penguatan di wilayah tersebut agar daerahnya semakin berkembang dan dapat menjadi episentrum ekonomi baru di perbatasan.
Begitu pula sebaliknya, jika hasil penilaian terhadap daerah tersebut diperoleh nilai yang kecil, maka pemerintah juga dapat memetakan opsi-opsi terbaik dalam merumuskan kebijakan yang dibutuhkan.
Sehingga intervensi yang diperlukan untuk melakukan pembangunan kawasan perbatasan menjadi sinergis dan terintegrasi.
Di sisi lain, dengan mekanisme pengukuran indeks yang andal, dalam jangka panjang bakal membantu pemerintah dalam upaya peningkatan daya saing daerah di kawasan perbatasan.
Hal itu memungkinkan dapat dicapai, karena data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut dijadikan sebagai salah satu indikator untuk membangun daya saing daerah.
Dengan begitu, secara perlahan pembangunan secara komprehensif akan dapat diperoleh.
Lebih dari itu, hasil penilaian dari indeks tersebut juga dapat dijadikan sebagai bahan bagi daerah setempat untuk melakukan inovasi berdasarkan kekurangan yang dimiliki.
Kita tahu, inovasi sering kali lahir dari berbagai hambatan yang ada. Karenanya, akan menjadi lebih optimal jika data yang diperoleh dari pengukuran indeks tersebut dapat dimanfaatkan sebagai rujukan ilmiah dalam menghasilkan kebijakan (science based policy).
Tentu dalam perjalanannya proses ini tetap membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak.
Berbagai stakeholder, dipandang perlu bekerja sama agar proses pengukuran yang pada akhirnya akan menunjang kesejahteraan masyarakat dapat terlaksana dengan baik.
Akhir kata, besar harapan kita semua agar berbagai tantangan yang mengintai wilayah perbatasan dapat segera teratasi.
Terlebih lagi, apabila pengentasan masalah tersebut dapat terlaksana secara baik, komprehensif, juga optimal.
Dengan demikian, apa yang selama ini termaktub pada butir ke-5 Pancasila mengenai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud secara nyata dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat, utamanya yang berada di wilayah perbatasan. Semoga.
*Dr. NURDIN, S.Sos, M.Si
Asisten Deputi Infrastruktur Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat-BNPP
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.