JAKARTA, KOMPAS.com - Sekitar lebih dari dua tahun sebelum lengser, Presiden Soeharto sempat melontarkan kritik terhadap pers nasional. Menurut dia saat itu pers dalam negeri makin sering melakukan pelanggaran etika dalam pers, tulisan yang melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam peraturan kode etik yang dibuat dan disepakati wartawan sendiri.
Pernyataan itu disampaikan Soeharto dalam sambutannya pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 1996 di Alun-alun Utara Keraton Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Dia mengatakan saat itu ada pemberitaan yang tidak mempertimbangkan kepatutan dan berita yang bersifat spekulatif sehingga menganggu rasa tenteram masyarakat.
"Kita juga makin prihatin memperhatikan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, membingungkan, meresahkan, mengandung ketidakbenaran atau melecehkan kemampuan berpikir khalayak. Tidak jarang pula kita melihat pemutarbalikan atau pengaburan fakta, mencampuradukkan fakta dan opini sendiri, yang merugikan atau menguntungkan suatu pihak, tidak menghormati asas praduga tak bersalah dan seterusnya," kata Soeharto saat itu.
Baca juga: Hari Pers Nasional 2022, Nadiem Harap Nilai Utama Jurnalistik Tetap Dijaga
"Akibatnya", lanjut Kepala Negara, "masyarakat tidak memperoleh gambaran yang lengkap, jelas, pasti dan utuh untuk membuat kesimpulan. Hal ini tidak jarang menyebabkan masyarakat mengambil langkah yang kurang tepat, bahkan dapat merugikan."
Soeharto meminta kepada seluruh jajaran pers nasional agar benar-benar memperhatikan perkembangan yang dapat merugikan pers dan masyarakat.
"Lebih-lebih pada saat bangsa kita berada pada awal tahap tinggal landas yang sangat menentukan masa depan bangsa kita. Untuk itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) perlu mawas diri untuk menumbuhkan organisasinya menjadi lembaga yang semakin profesional, sehingga dapat mengembangkan masyarakat pers yang juga semakin profesional," katanya.
Kemudian Soeharto menekankan, sudah sepatutnya kalangan pers mengingat salah satu tujuan kemerdekaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan yang masih harus diwujudkan dengan lebih baik.
"Tujuan itu -- yang diingatkan dalam Kode Etik Wartawan Indonesia -- adalah mencerdaskan kehidupan bangsa," ujar Soeharto.
Baca juga: Hari Pers Nasional 2022, Nadiem Harap Nilai Utama Jurnalistik Tetap Dijaga
"Jelaslah, pers merupakan salah satu lembaga yang paling penting dalam proses pencerdasan ini. Hal itu hanya mungkin terlaksana, jika pers memahami tanggung jawab profesionalnya dalam mencapai tujuan tadi," kata Soeharto.
Selain itu Soeharto juga meminta pers dalam negeri beradaptasi dengan perkembangan dunia, terutama di bidang informasi dan komunikasi.
"Andaikata kita tidak berhati-hati, maka perubahan ini dapat menjurus ke arah pers perjuangan yang sama sekali lain. Pers akan berubah menjadi kancah perjuangan hidup dan perjuangan kepentingan, baik bagi wartawan, bagi penerbit, bagi pemilik atau bagi kelompok. Tapi tidak bagi kepentingan nasional," kata Soeharto.
Baca juga: Kala Logo Dewan Pers Dicatut untuk Sumbangan Gelap Hari Pers Nasional...
Menurut Soeharto, pers yang seperti itu, adalah pers yang kehilangan jati diri sebagai pers dari khalayak pembacanya, bangsa Indonesia. Tindak-tanduk, perilaku, teknik-teknik, kriteria berita, pertimbangan dan santun bahasanya, akan begitu saja mengikuti resep pers global yang dianggap berhasil secara komersial.
"Pers seperti itu tidak lagi mencerminkan ciri-ciri ke-Indonesia-an. Dengan demikian, bukan lagi merupakan pers nasional," tutur Soeharto.
Berita ini sudah terbit di surat kabar KOMPAS pada 10 Februari 1996 dengan judul: Presiden Soeharto: Banyak Pelanggaran Etika dalam Pers
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.