Soeharto juga mengatakan, tugas pers adalah mengungkapkan kebenaran. Ia menyebut pers sebagai obor penerangan.
Tak hanya itu, Soeharto sekaligus menegaskan fungsi pers yang menurutnya merupakan penyalur informasi yang obyektif, melakukan kontrol sosial yang konstruktif, menyalurkan aspirasi rakyat, dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.
"Pers nasional dalam zaman pembangunan ini tidak saja merupakan cermin pasif dari keadaan masyarakat Indonesia, tidak cukup hanya memberikan informasi melalui berita-berita objektif. Tetapi, pers nasional sebagai kekuatan perjuangan bangsa harus dapat menjadikan dirinya sebagai kekuatan pembaharuan," papar Soeharto saat itu.
Baca juga: Jokowi Dukung Perbaikan Regulasi Pers
Meski sudah diperingati setiap tahunnya sejak 1985, penetapan HPN pada tanggal 9 Februari masih terus menjadi perdebatan.
Penetapan HPN yang diambil dari hari lahir PWI dianggap tidak mewadahi suara organisasi wartawan lain yang memiliki visi berbeda. Berbagai organisasi pers kerap melontarkan kritik terkait hal ini.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang lahir di akhir kepemimpinan Soeharto, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menjadi organisasi pers yang kerap mempersoalkan relevansi penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN.
AJI sendiri berdiri tahun 1994 atas gagasan sejumlah wartawan yang menginginkan independensi pers. Usai Orde Baru runtuh tahun 1998, mulai bermunculan organisasi-organisasi pers baru, termasuk IJTI.
Beberapa kalangan mempersoalkan penetapan hari PWI sebagai HPN karena PWI bukanlah satu-satunya organisasi wartawan yang ada di Indonesia.
Dilansir dari Kompas.id, pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, pernah ada Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang berdiri tahun 1914 di Surakarta.
Baca juga: Profil Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional
Kemudian ada juga Sarekat Journalist Asia yang tahun tahun 1925, Perkumpulan Kaoem Journalist pada 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia yang dideklarasikan tahun 1940. PWI baru berdiri 6 bulan usai Indonesia merdeka, tepatnya 9 Februari 1946.
AJI dan IJTI beberapa kali mengadakan seminar khusus untuk mencari tanggal HPN. Beberapa pembicara dihadirkan, mulai dari sejarawan, peneliti, hingga sejumlah tokoh pers.
Dalam salah satu seminar itu, sempat muncul usulan adanya penetapan Hari Jurnalis Indonesia di samping HPN. Hari Jurnalis Indonesia diusulkan diperingati sesuai tanggal meninggalnya tokoh Pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo yaitu pada 7 Desember.
Seperti diketahui, Tirto meninggal dunia pada 7 Desember 1981. Ia merupakan salah satu tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dan dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan Indonesia.