JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
UU tersebut digugat oleh seorang warga bernama E Ramos Petege. Ramos yang beragama Katolik mengajukan gugatan tersebut usai gagal menikah dengan kekasihnya yang beragama Islam.
Dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena dirinya dan kekasih memeluk agama dan keyakinan yang berbeda, sehingga tidak bisa melangsungkan perkawinan.
Baca juga: Batal Menikah karena Beda Agama, Seorang Pria Gugat UU Perkawinan ke MK
Menurut dia, UU Perkawinan tidak memuat aturan jelas mengenai perkawinan beda agama. Ketidakpastian itu, kata Ramos, telah melanggar hak-hak konstitusionalnya.
"Hal ini tentunya menyebabkan pemohon kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena apabila hendak melakukan perkawinan adanya paksaan salah satunya untuk menundukan keyakinan, serta juga kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan melalui membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas
yang mulia," bunyi petikan permohonan yang dilansir dari lama resmi MK RI.
Aturan dalam UU Perkawinan yang dimaksud Ramos dimuat dalam Pasal Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f.
Lantas, bagaimanakah bunyi aturan tersebut?
Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengacu Pasal 2 Ayat (1), perkawinan dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Baca juga: Aturan Usia Pensiun TNI Digugat, Panglima Andika Harap Hakim MK Bijaksana
Kemudian, pada Ayat (2) pasal yang sama dikatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun Pasal 8 mengatur tentang perkawinan yang dilarang. Pada huruf f disebutkan, "Perkawinan dilarang antara dua orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin".
Ketentuan tersebut dinilai tidak memberi pengaturan khusus mengenai perkawinan beda agama. Namun, kerap kali ditafsirkan bahwa hukum kawin beda agama merujuk pada hukum agama.
Baca juga: Tak Mau Jabat Hanya Sampai 2024, Bupati-Wakil Bupati Halmahera Utara Gugat UU Pilkada ke MK
Meski demikian, Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 1400K/PDT/1986 pernah mengabulkan perkawinan beda agama oleh dua pihak yang mengajukan kasasi.
Putusan itu lantas kerap menjadi rujukan dalam pengajuan izin perkawinan beda agama. Dilansir dari laman resmi Direktori Putusan MA RI, terdapat ratusan dokumen penetapan status perkawinan beda agama.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.