Sebagai wartawan Tempo dan pembaca Jawa Pos, Dahlan mengaku geram dengan kualitas jurnalisme dan wartawan di Jawa Pos saat itu.
“Jadi tidak pernah ada berita di Jawa Pos yang dicari oleh wartawannya. Berita itu selalu ketika ada acara atau konferensi pers. Ini terus di mana fungsi wartawannya?” tutur dia.
Baca juga: Sejarah Mobil Listrik di Dunia, Plus Cerita Tucuxi Dahlan Iskan
Amarah Dahlan itu diakuinya menjadi modal utama untuk membenahi Jawa Pos. Dahlan sempat berandai-andai jika diminta mengelola koran itu, langkah apa saja yang akan diambilnya untuk membawa perubahan.
“Seandainya saya kelola koran ini akan saya beginikan, beginikan. Tapi tidak menyangka bahwa suatu saat saya diserahi itu (mengelola Jawa Pos),” papar dia.
“Ketika pada akhirnya diserahi itu sebetulnya sudah penuh kemarahan di kepala saya, pada kondisi jurnalismenya,” sambungnya.
Setelah Dahlan memimpin, ia melakukan perubahan besar. Para wartawan Jawa Pos mesti berburu berita sendiri tanpa banyak mengandalkan rilis atau acara seremonial pemerintah.
Baca juga: Suar Muntah Darah, Kisah Dahlan Iskan Menjadi Penyintas Kanker Hati
Ia juga berpegang pada tagline Jawa Pos yaitu “selalu ada yang baru.”
Untuk Dahlan, sebuah kemajuan tidak bisa diraih jika tidak menjadi pembeda.
“Tidak mungkin bangkit kalau kita melakukan apa yang orang sudah lakukan. Ciri bangkitkan melanjutkan sesuatu yang baru,” imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.