Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Ketika Oligarki Mengakali Ekonomi Pancasila

Kompas.com - 08/02/2022, 08:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DULU, ketika saya masih sekolah, setiap tanggal 1 Oktober, Indonesia biasanya berkabung untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila.

Sebuah ideologi “tengah” yang telah memosisikan Indonesia sebagai entitas berbeda dan independen dari tangan-tangan kolonialis-imperialis, komunis agresionis, maupun dari tangan-tangan separatis invasionis yang ingin menyetir arah bangsa sesuai keyakinan komunal yang di-fait accompli sebagai keyakinan yang layak secara nasional.

Setiap kali bertemu dengan tanggal tersebut, Pancasila diposisikan kembali sebagai “simbol yang terselamatkan” karena “konon” ketika itu ada sebuah simbol baru yang “konon pula katanya” super agresif secara domestik dan ekstra ekspansionis secara internasional, yang ingin menurunkan gambar burung Garuda dari dinding Istana Negara.

Sehingga spirit ideologis plus nostalgis tertempel kuat pada hari itu dan hampir pasti akan hilang begitu saja sehari setelahnya karena “sindrom memori pendek” yang sudah biasa mendarah daging di dalam diri anak bangsa pascamerdeka.

Dan memang begitulah sentimen ideologis bekerja, butuh patok-patok waktu dan lempengan-lempengan ingatan untuk menggelorakannya.

Terlepas dari malapetaka yang kemudian berhasil mengeramatkan tanggal 1 Oktober tersebut, nampaknya saat ini agak jarang kita berbicara tentang Pancasila sebagai sebuah cita-cita demokrasi ekonomi yang sangat diidam-idamkan oleh para pendiri negara sedari dulu, sebut saja, misalnya, yang paling dominan adalah Bung Hatta.

Karena itu, ada baiknya kebiasaan bernostalgia secara ideologis tersebut kita alihkan kepada ingatan nilai-nilai demokrasi ekonomi yang tersirat komprehensif di dalam ajaran Pancasila, agar bisa menjadi “patok ideologis” bagi penguasa-penguasa baru yang bermunculan, saat ini maupun yang akan datang, di daerah maupun di level nasional.

Secara umum, sudah menjadi imperatif ideologis bagi bangsa Indonesia untuk berjuang tanpa lelah menjaga irama demokratisasi sampai ke titik konsolidasi sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila.

Kemudian, jika irama demokrasi sudah relatif stabil, baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan menyempurnakannya (keadilan sosial).

Dengan sederhana bisa diartikan bahwa dibutuhkan komitmen demokrasi yang tinggi, konsisten, dan berkelanjutan, untuk memperjuangkan berdiri tegaknya keadilan sosial dan bertumbuhkembangnya kesejahteraan masyarakat.

Dengan lain perkataan, segala daya upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi sejatinya harus pula berbanding lurus dengan konsistensi dan sustainabilitas peningkatan kualitas keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Idealitas ideologis semacam ini tentu sekadar netral di atas kertas, namun cenderung distortif dan reduktif pada tataran teknis operasionalnya.

Kita semua memahami bahwa demokratisasi pastinya bukanlah sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil semata (procedural democracy) alias "schumpeterian democracy".

Namun juga soal persamaan kesempatan beserta segala usaha untuk mendukung kesamaan kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan (pemberdayaan/empowerment).

Artinya, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan main yang fair (fairplay), tapi juga harus diiringi dengan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity), harus ada proteksi untuk yang tak berdaya dan measurable support untuk yang lemah.

Apalagi jika demokratisasi tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi.

Maka pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.

Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta "invisible hand" ala Adam Smith.

Nah, darwinisme ekonomi semacam ini pada gilirannya akan memperbesar ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi.

Arti lanjutannya, agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal, bahkan oligarki.

Walhasil, Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya.

Padahal Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan di masa lalu itu.

Dan pada akhirnya beliau bisa mendamaikan keduanya cuma dengan satu pasal plus tiga ayat tersebut.

Tentu spirit yang terkandung di dalamnya tidak hanya berkat andil besar dari moralitas dan intelektualitas ekonomi seorang Mohammad Hatta saja.

Bahkan substansi dalam pasal tersebut beliau serap dengan sangat brilian dari Tan Malaka sekira dua puluh tahunan sebelum UUD 1945 ada.

Ketika Hatta masih menjadi seorang mahasiswa baru di Belanda, pada Juli 1922, Ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman.

Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono tersebut Hatta mendapatkan pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka terkait “komunisme”, yang notabene berbeda jauh dengan interpretasi versi Lenin-Stalin.

Dalam penjelasan Tan Malaka mengenai “diktatur proletariat” di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan Malaka terhadap interpretasi Lenin- Stalin dan Uni Soviet, Hatta memperoleh kata-kata yang belakangan menjadi “keramat”, yakni: “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.

Ya, kata-kata yang belakangan menjadi Penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap oleh Hatta dari Tan Malaka, meski secara redaksional ditampilkan dalam bahasa yang kontekstual dan tidak tendensius.

Nah, liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta tadi akan membuat kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun global.

Namun celakanya, di sisi lain, penguasa (atau calon penguasa) kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangkan kontestasi demokrasi yang semakin mahal.

Sehingga situasi dilematisnya adalah bahwa di satu sisi kekuasaan politik terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, bahkan tak jarang malah berkurang, namun disisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, oligar) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut.

Dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Journal Democratization, vol.11, April 2004).

Selanjutnya, di bawah agenda setting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi/oligarki) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal.

Sudah bisa dipastikan, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dengan kalangan papa (the have not) alias minimnya pemerataan.

Disparitas pendapatan yang menyakitkan tersebut tentu bukan isapan jempol belaka. Kian hari, daftar 50 orang terkaya Indonesia berlomba menambah hartanya untuk mengejar peringkat tertinggi versi majalah Forbes, misalnya.

Kecepatan penambahan harta mereka berlipat dibanding peningkatan gaji pekerja atau standar hidup rakyat kebanyakan.

Mereka seolah-olah berlomba mengokupasi kavling demi kavling kekayaan nasional Indonesia atas nama prestise dan kebanggaan diri, bersamaan dengan pemerintahan yang kian cenderung berposisi sebagai penjaga pertumbuhan harta kekayaan para oligar demi lancarnya pembiayaan politik di satu sisi dan konstribusi pada pendapatan negara di sisi lain.

Bahkan pemerintah cenderung berwatak "sosialis" di saat para pembesar bisnis mulai mengalami "gagal pasar," tapi sangat "liberal kapitalis" kepada rakyat di saat yang sama, dengan melepas kran-kran proteksi pada bidang dan produk yang semestinya diproteksi atas nama kepentingan publik.

Skandal BLBI adalah salah satu contoh betapa "sosialis"-nya pemerintah kepada para pembesar bisnis, atau penanaman modal negara pada BUMN dari tahun ke tahun yang nominalnya hampir selalu lebih besar ketimbang kontribusi langsung BUMN pada pendapatan negara.

Atau alokasi dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang angkanya jauh lebih besar untuk para pengusaha ketimbang untuk rakyat, plus perundangan-perundangan baru yang cenderung menaikkan rasa percaya diri para pembesar bisnis ketimbang kepercayaan diri rakyat kebanyakan.

Dalam kacamata ekonomi neoklasik, apa yang dilakukan pemerintah tentu masih bisa ditoleransi, terutama terkait dengan intervensi di saat kegagalan pasar (market failure) terjadi.

Tapi dalam kacamata pembangunan (developmentalism), intervensi pemerintah semestinya menghasilkan penguatan fundamental ekonomi nasional, bukan malah memperbesar pembatas antara rakyat kebanyakan dengan kelompok oligarki yang kian hari kian leluasa mengokupasi berbagai lini pengambilan kebijakan publik.

Walhasil, fundamental ekonomi Indonesia tetap rapuh, meskipun disembunyikan secara apik di balik angka-angka makro ekonomi yang moderat.

Pemerintah sangat terobsesi menginjeksikan "virus pemerintah kuat" ke dalam tubuhnya di satu sisi, tapi gagal membangun pilar Pasal 33 UUD 1945 yang kuat alias gagal menginjeksikan vitalitas dan keperkasaan bisnis ke dalam BUMN-BUMN yang terkait dengan hajat hidup orang banyak dan nyaris gagal total menjadikan koperasi sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional.

Secara politik, meminjam istilah dari John West dalam bukunya "Asia on the knife edge (2018), demokrasi Indonesia kini hanya tersisa sebagai “demokrasi dari beberapa, untuk beberapa, dan oleh beberapa.”

Sementara secara ekonomi, meminjam istilah Jeffrey Winters dalam bukunya "Oligarch (2011)," para oligar yang sebelumnya berpusat di bawah satu tangan Soeharto (Winters menyebutnya Sultanic Oligarch) kini berkeliaran di dalam sistem ekonomi dan politik yang berpotensi menggeser demokrasi Pancasila menjadi "criminal democracy."

Walhasil, sampai hari ini, demokrasi Indonesia masih tentang para elite, belum tentang ekonomi Pancasila dan kepentingan rakyat banyak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com