Apalagi jika demokratisasi tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi.
Maka pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.
Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta "invisible hand" ala Adam Smith.
Nah, darwinisme ekonomi semacam ini pada gilirannya akan memperbesar ketimpangan ekonomi, kerusakan alam, dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi.
Arti lanjutannya, agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal, bahkan oligarki.
Walhasil, Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya.
Padahal Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan di masa lalu itu.
Dan pada akhirnya beliau bisa mendamaikan keduanya cuma dengan satu pasal plus tiga ayat tersebut.
Tentu spirit yang terkandung di dalamnya tidak hanya berkat andil besar dari moralitas dan intelektualitas ekonomi seorang Mohammad Hatta saja.
Bahkan substansi dalam pasal tersebut beliau serap dengan sangat brilian dari Tan Malaka sekira dua puluh tahunan sebelum UUD 1945 ada.
Ketika Hatta masih menjadi seorang mahasiswa baru di Belanda, pada Juli 1922, Ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman.
Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono tersebut Hatta mendapatkan pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka terkait “komunisme”, yang notabene berbeda jauh dengan interpretasi versi Lenin-Stalin.
Dalam penjelasan Tan Malaka mengenai “diktatur proletariat” di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan Malaka terhadap interpretasi Lenin- Stalin dan Uni Soviet, Hatta memperoleh kata-kata yang belakangan menjadi “keramat”, yakni: “Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.
Ya, kata-kata yang belakangan menjadi Penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap oleh Hatta dari Tan Malaka, meski secara redaksional ditampilkan dalam bahasa yang kontekstual dan tidak tendensius.
Nah, liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta tadi akan membuat kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun global.