"Saya satu komitmen nilai dengan mereka untuk tegas bersikap yang memihak rakyat sebagai pemegang daulat yang dihinakan dalam proses-proses politik pengesahan Undang-Undang IKN," kata Busyro Muqoddas melalui keterangan tertulis, Sabtu, (5/2/2022).
Baca juga: 9 Aturan Turunan UU IKN Ditargetkan Rampung Maret-April, Ini Rinciannya
Selain itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra; mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin; hingga ekonom senior Faisal Basri juga mendukung petisi tersebut.
Berikut 45 nama penggalang petisi menolak pemindahan dan pembangunan IKN:
Belum lama ini, undang-undang tentang IKN juga digugat ke MK oleh sejumlah warga yang menamakan diri sebagai Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).
Sebagaimana diketahui, RUU IKN disahkan menjadi UU pada 18 Januari 2022 melalui rapat paripurna DPR. Hingga kini, UU itu masih menunggu tanda tangan dari presiden untuk selanjutnya diundangkan.
Baca juga: Belum Genap Sebulan Disahkan, Kini UU IKN Digugat ke MK
Adapun PNKN terdiri dari mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua, mantan anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara, politikus Agung Mozin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Muhyiddin Junaidi, dan 7 orang lainnya.
Dilansir dari dokumen yang diunggah laman resmi MK, gugatan itu didaftarkan pada 2 Februari 2022.
Para pemohon mengajukan gugatan uji formil atas UU IKN lantaran pembentukan UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan UU IKN dinilai tidak melalui perencanaan yang berkesinambungan, mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.
Para pemohon juga menilai, pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN ke peraturan pelaksana.
"Dari 44 pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana," tulis para pemohon.
Baca juga: Tahap Pertama, 7.687 Abdi Negara Akan Pindah ke IKN
Selain itu, menurut para pemohon, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Pemohon mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat menolak pemindahan ibu kota negara.
Selain itu, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN. Berdasarkan penelusuran pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh yang dokumen dan informasinya dapat diakses publik.
"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.
Mengacu pada hal-hal tersebut, pemohon menilai bahwa pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011.