JAKARTA, KOMPAS.com - Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang belum genap sebulan. Namun, kritik terhadap UU tersebut terus bermunculan.
RUU IKN disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 18 Januari lalu. UU yang disahkan terdiri dari 11 bab dan 44 pasal yang memuat segala urusan terkait pemindahan ibu kota.
Pembahasan RUU ini terbilang cepat karena hanya memakan waktu 43 hari, terhitung sejak 7 Desember 2021.
Hingga kini, UU itu masih menunggu tanda tangan dari presiden untuk selanjutnya diundangkan.
Baca juga: Pembangunan Fisik IKN Nusantara Disebut Mulai Pertengahan 2022
Adapun kritik terhadap UU IKN datang dari berbagai pihak. Mereka mempersoalkan proses pengesahan RUU, hingga isi dari UU tersebut.
Terbaru, UU IKN digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah warga yang menamakan diri sebagai Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN).
PNKN sendiri digawangi oleh mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, mantan anggota DPD DKI Jakarta Marwan Batubara, politikus Agung Mozin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Muhyiddin Junaidi, dan 7 orang lainnya.
Dilansir dari dokumen yang diunggah laman resmi MK, gugatan itu didaftarkan pada 2 Februari 2022.
Para pemohon mengajukan gugatan uji formil atas UU IKN lantaran pembentukan UU tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Pemerintah Cadangkan 42.000 Hektar Lahan untuk Pembangunan IKN
Pembentukan UU IKN dianggap tidak melalui perencanaan yang berkesinambungan, mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunan.
Para pemohon juga menilai, pembentukan UU IKN tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi substansial ibu kota negara ke peraturan pelaksana.
"Dari 44 pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana," tulis pemohon.
Selain itu, menurut para pemohon, UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Pemohon mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat menolak pemindahan ibu kota negara.
Sejalan dengan itu, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN. Berdasar penelusuran pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya tujuh yang dokumen dan informasinya bisa diakses publik.
"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.
Baca juga: UU IKN Digugat ke MK, Faldo Maldini: Promosi Gratis Ibu Kota Baru
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.