JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah dan pelaku industri untuk duduk bersama dalam mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng, meskipun telah ada intervensi harga hingga Rp 11.500 per liter.
"Pemerintah harus duduk bersama pelaku industri untuk menyusun sebuah roadmap yang saling menguntungkan, bersifat jangka panjang dan sistemik," kata Deddy dihubungi Kompas.com, Minggu (30/1/2022).
Untuk diketahui, Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sesuai jenisnya yang akan berlaku mulai 1 Februari 2022:
Baca juga: Pimpinan DPR Minta Pemerintah Lanjutkan Intervensi Harga Minyak Goreng
Dia setuju kelangkaan minyak goreng telah menjadi persoalan di masyarakat, mengingat merupakan salah satu bahan kebutuhan sehari-hari.
Menurutnya, yang perlu diintervensi pemerintah adalah soal tata kelola dan tata niaga dari industri CPO (crude palm oil) dan minyak goreng.
Sebab, menurutnya, hulu persoalan kelangkaan minyak goreng adalah pada saat proses produksi.
"Yaitu harga pokok produksi bahan baku (CPO) dan minyak goreng itu sendiri. Lalu kondisi pasar global dan domestik," ujarnya.
Ia melanjutkan, pemerintah diharapkan memiliki mitigasi yang terstruktur dan bersifat jangka panjang untuk menjaga dinamika industri dan harga di tingkat konsumen.
Menurutnya, ada banyak instrumen yang bisa dipakai.
"Apakah itu kewajiban persentase penjualan di dalam negeri (DMO), rekayasa perpajakan, subsidi pemerintah atau konstribusi BPDPKS," jelasnya.
Baca juga: Jutaan Hektare Hutan RI Jadi Sawit, Kenapa Minyak Goreng Justru Mahal?
Sementara di tingkat hilir, ia menilai, operasi pasar ketika terjadi kelangkaan minyak goreng tidak efektif dan sustainable.
"Operasi pasar boleh-boleh saja, tapi tidak akan menyelesaikan masalah. Malah seringkali menimbulkan persoalan baru dan bias di lapangan seperti yang terjadi saat ini," tambah dia.
Oleh karenanya, ia menyarankan agar pemerintah dan pelaku industri hendaknya duduk bersama dalam menyusun roadmap yang saling menguntungkan, bersifat jangka panjang dan sistemik.
Pada saat harga pasar global tinggi, pelaku industri harus memikirkan kebutuhan di tingkat domestik.
Sementara, pada saat harga di pasar global rendah, pemerintah harus memikirkan keberlanjutan usaha para pelaku industri.