Tsunami, lanjut Semeidi, selama ini selalu diasosiasikan dengan kejadian gelombang besar yang disebabkan oleh aktivitas geologi seperti gempa bumi, gunung api,dan longsoran bawah air.
Lalu, aktivitas tersebut menjadi penyebab dari terganggunya badan air sehingga terbentuk gelombang yang menjalar cepat di lautan dan mencapai daratan dengan tinggi gelombang yang jauh lebih tinggi serta berpotensi untuk merusak.
“Gangguan (tsunami) pada badan air tersebut juga bisa disebabkan oleh aspek di luar fenomena geologi, seperti perubahan tekanan udara yang terjadi secara tiba-tiba (pressure jump). Ada juga perubahan tekanan yang dapat mengakibatkan gangguan pada badan air sehingga membangkitkan gelombang tinggi yang dikenal sebagai meteo-tsunami,” ucap Semeidi.
Meski begitu, meteo-tsunami memiliki karakteristik fisik yang sama persis dengan tsunami biasa yang umumnya disebabkan oleh aktivitas geologi.
Di berbagai belahan dunia, meteo-tsunami dikenal ke dalam berbagai nama berbeda, seperti Abiki di Jepang, Rissaga di Pulau Balearic, Spanyol, dan Marrobbio di Sisilia, Italia.
Dari berbagai kejadian meteo-tsunami, beberapa di antaranya bahkan cukup berbahaya dan menimbulkan korban jiwa, contohnya seperti yang terjadi di Teluk Nagasaki, Jepang, pada 31 Maret 1979.
Tsunami kala itu mencapai ketinggian 4,8m dan menyebabkan tiga orang meninggal dunia.
Kemudian, ada juga meteo-tsunami yang terjadi di Teluk Persia, tepatnya di Dayyer, Iran, pada 19 Maret 2017 yang menyebabkan lima orang meninggal dengan runup tsunami mencapai 3m.
Saat ini, PUMMA terpasang pada delapan lokasi di Indonesia, seperti di Pulau Sebesi, Marina Jambu, Pangandaran, Pelabuhan Sadeng, Pelabuhan Prigi, Pelabuhan Ratu, PPS Bungus, dan TPI Tua Pejat Mentawai.
PUMMA merupakan hasil kerja sama antara Pusat Riset Kelautan BRSDMKP KKP dengan JRC the European Commission, Badan Informasi Geospatial (BIG), dan Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI).
Adapun data dan sistem peringatan PUMMA juga sudah masuk ke jaringan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, (BMKG) sebagai otoritas peringatan dini tsunami di Indonesia.
“Keberhasilannya PUMMA dalam mendeteksi tsunami Tonga serta kejadian-kejadian sebelumnya selama tiga tahun belakangan telah memberi hasil positif. Terutama, mengenai kinerja terhadap penguatan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia,” jelas Semeidi.
Baca juga: Penjelasan Ilmiah Mengapa Gempa Dapat Mengakibatkan Tsunami
Selain potensinya peringatannya yang akurat, PUMMA juga memiliki kelebihan lain, yakni harga murah, mudah dibuat, mudah dipasang, dan perawatan yang mudah.
Selain itu, PUMMA juga memanfaatkan jaringan infrastruktur eksisting, melibatkan masyarakat pada proses pembuatan dan pengoperasian, dan dapat diproduksi di Indonesia.
Sejauh ini, sebagian besar PUMMA telah dipasang di fasilitas milik KKP. Utamanya, di pelabuhan perikanan yang berada di garis terdepan dalam mendeteksi fenomena tsunami.
“Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa selain berurusan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K), KKP juga memiliki tanggung jawab dalam upaya mitigasi bencana. Berbagai upaya mitigasi bencana telah dilakukan oleh KKP, baik secara langsung maupun sebagai muatan dan pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan lainnya,” tutur Semeidi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.