Ia mengaku cukup beruntung karena jarak dari kediamannya ke RS rujukan di pusat Kota Bandung tak begitu jauh.
Menurutnya, di sana, antrean pasien lain juga mengular panjang. Mereka adalah pasien-pasien dari jauh yang penyakitnya hanya dapat ditangani dengan rujukan di RS tersebut.
Kini, setelah ia dinyatakan sembuh dari kanker, Tisya memilih untuk menggunakan uang pribadi untuk keperluan kontrol guna menghemat duit, waktu, dan tenaga.
Baca juga: Anak Eks Pejabat Ditjen Pajak Diduga Turut Cuci Uang: Beli Jam Tangan Senilai Hampir Rp 900 Juta
“Jangan lupa, kalau kita (menunggu rujukan faskes tingkat 1) dari subuh, kita minum, makan, dan lain-lain, sama saja (pengeluarannya). Jadi, untuk apa buang-buang energi lagi. Skrining di puskesmas juga enggak banyak gunanya, kadang-kadang seperti menggugurkan kewajiban saja, formalitas (untuk minta surat rujukan),” ungkap Tisya.
“Bukan repot, kita saja yang terbiasa langsung dilayani,” ucap dia.
Ada yang Namun demikian, sebagian kalangan menilai bahwa sistem rujukan berjenjang ini tak semerepotkan yang dikira.
Sinta (26) sudah sejak Agustus 2021 menjadi kepanjangan tangan untuk mengurus administrasi kesehatan bundanya yang mengalami masalah pada matanya.
Baca juga: Foto AHY Jadi Sorotan karena Pakai Rompi Militer di Samping Unimog, Demokrat: Kebetulan Saja
Masalah itu rupanya berupa tumor yang tumbuh di antara mata dengan otaknya. Baru pada bulan Januari 2022 ini, bundanya beroleh kesempatan operasi pengangkatan tumor di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Selama sekira 5 bulan itu, Sinta mengaku tak banyak mengalami kendala berarti. Bundanya berulang kali dirujuk secara berjenjang hingga akhirnya ditangani seorang spesialis saraf.
“Karena sudah ada surat rujukan dari faskes pertama, administrasinya justru berlangsung mulus-mulus saja. Yang penting ada surat rujukan yang jelas,” kata Sinta kepada Kompas.com, Rabu.
“Memang ada beberapa tahap yang agak menguras tenaga, tapi saya puas karena seluruh biaya operasi Ibu dibayar penuh. Tanpa BPJS Kesehatan, saya perlu keluar uang sekitar Rp 248 juta. Kita sebagai pasien hanya perlu sedikit sabar, ya, dan paham skema administasinya seperti apa, dan tahu RS mana saja yang ramah pasien BPJS,” jelasnya.
Senada dengan Sinta, Bondan (29) juga berpengalaman mengurusi administrasi BPJS Kesehatan untuk pamannya yang menderita stroke.
Warga Depok tersebut berujar, beberapa waktu lalu pamannya memerlukan operasi kepala karena terjadi penggumpalan darah di sana. Tindakan ini jelas membutuhkan biaya besar.
Oleh karenanya, Bondan berinisiatif membawa hasil diagnosis dari dokter RS swasta yang merawat pamannya untuk kali pertama, ke puskesmas sekitar tempat tinggalnya.
“Saya bahkan bawa itu semua ke puskesmas tanpa paman saya. Melihat hasil diagnosis itu, puskesmas setuju untuk merujuk paman ke rumah sakit di mana dia bisa dilakukan operasi kepala,” ujar Bondan kepada Kompas.com, Rabu.
Operasi berjalan lancar dan seluruh biaya ditanggung negara.
Baik Bondan maupun Sinta sama-sama khawatir bila sistem rujukan berjenjang ini dihapus. Mereka cemas, seluruh pasien akan langsung menumpuk di RS tanpa mengalami skrining terlebih dulu di faskes tingkat 1.
Akibatnya, antrean pasien BPJS Kesehatan di RS bisa jadi semakin panjang, padahal barangkali sebagian pasien memiliki keluhan yang dapat diatasi di puskesmas.
“Karena antreannya saat ini saja sudah sepanjang itu. Saya tiap antar Ibu ke RS, minimal mengantre 3 jam. Kalau sistem rujukan berjenjang dihapus, jumlah RS yang melayani pasien BPJS Kesehatan harus lebih banyak,” ujar Sinta.
“Kadang orang kelas menengah seperti kita yang sebetulnya malas, jadi merasanya repot. Padahal bukan repot, tetapi kita kebiasaan apa-apa langsung dilayani,” ujar Bondan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.