Berbelit dan tak ramah pasien
Menurut dia, birokrasi ini merepotkan, tak masuk akal, dan tidak diperlukan. Terlebih, dengan riwayat berobatnya yang cukup panjang, dokter-dokter di rumah sakit langganannya sudah mengenalnya.
Setali tiga uang, Tisya (55), warga Cimahi, juga menyebut bahwa mekanisme rujukan berjenjang ini tak efisien.
Tisya merupakan penyintas kanker ovarium. Saat ini, untuk keperluan kontrol, ia tak lagi memakai layanan BPJS Kesehatan.
Baca juga: Menkes: Kita Tidak Mau BPJS Kesehatan Defisit, Harus Positif
“Aku pernah (memakai layanan BPJS Kesehatan), tapi tidak mau lagi karena ribet,” kata Tisya kepada Kompas.com, Rabu.
Tisya menggunakannya sekitar 6 tahun lalu, ketika ia baru saja rampung menjalani operasi besar pengangkatan tumornya.
“Setelah operasi itu kan harus kontrol. Itu saya mulai menggunakan BPJS. Hanya saja memang harus melalui faskes 1, 2, 3, itu memakan waktu sangat lama. Di faskes tingkat 1 itu, kami ambil antrean sejak jam 06.00 padahal puskesmas buka jam 08.00. Kita dirujuk ke rumah sakit sekitar jam 11.00, lalu dikatakan dokter akan datang jam 14.00,” tuturnya.
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan Ungkap Rencana NIK Gantikan Nomor Kepesertaan
“Ternyata dokter baru bisa masuk ruangan jam 16.00. Bayangkan, kami dari jam 06.00 menunggu. Itu saya menunggu sampai pucat, namanya juga baru operasi besar,” ungkap Tisya.
Kerumitan semacam itu terpaksa ia tempuh karena ia perlu menjalani kemoterapi untuk penyembuhan total dari kankernya.
Tanpa layanan BPJS Kesehatan, ia akui perlu merogoh kocek dalam guna menutupi biaya kemoterapi tersebut.